Thursday, November 28, 2013

Musim hujan telah tiba siap-siap mencuci motor...



Bulan November telah tiba, saatnya kita menghadapi musim penghujan. Walau udara tak lagi panas untuk berkendara tapi jalanan becek dan cipratan lumpur siap menerpa. Saatnya harus sering bersih-bersih motor. Setelah sekian lama mempertimbangkan akhirnya saya membeli sebuat Jet Washer atau istilah tepatnya adalah High Pressure Cleaner. Perangkat ini sederhanya adalah pompa yang mampu mengalirkan air dengan kecepatan tinggi, sehingga dapat merontokkan kotoran yang melekat pada kendaraan maupun pada obyek lain yang tahan semprotan air bertekanan (termasuk kisi-kisi AC atau bahkan kotoran pada lantai rumah).



Biasanya kendala pembelian alat ini di rumah tangga menengah ke bawah adalah konsumsi watt yang terbilang tinggi. Maka ketika ada jet washer portable dengan daya 500 watt, segera menjadi favorit banyak orang. Kebetulan di C4 jet washer ini dijual dengan merk Mcculloch (FH80E). Kadang jet washer ini di diskon sehingga stocknya cepat habis. Sayangnya saya membelinya ketika harganya sedang harga normal. Jet Washernya sendiri walau mengaku bermerk Mcculloch, build qualitynya agak kasar dan ketara sekali dibuat di China. Buku manualnya (yang wajib berbahasa Indonesia pun) kurang lengkap menjelaskan petunjuk perakitan sehingga misalnya untuk melakukan lock pada tangkai spray gun saya harus melalui trial & error. Untunglah karena sederhana jet washer bisa segera digunakan.

Hasilnya lumayan bagian yang sulit dijangkau jadi lebih mudah dibersihkan, hanya saja untuk kotoran yang sudah berkerak tetap harus digosok dengan tangan atau chamois. Mungkin shampoo motor yang digunakan juga akan berpengaruh yang jelas efektifitasnya masih dibawah steam yang memang pasti sanggup mengencerkan segala jenis kotoran. Pada saat menggunakan jet washer pastikan pasokan air dari keran cukup stabil dan hati-hati dalam menyetel kekuatan dan fokus semprot karena tekanan yang tinggi dapat mengakibatkan cedera atau menimbulkan kerusakan.  

Tuesday, November 26, 2013

Perbandingan Honda PCX 150 VS Suzuki Burgman 200 VS Yamaha SMax 155, Bagian 2 : Muka & Bokong



Sekarang giliran membandingkan muka dan bokong yang paling sekseh dan paling menarik dari 3 penantang  skutik ini...dari ki-ka Burgman, PCX, SMax mana yg anda anggap paling cakep? 







Bonus komparasi Fitur-fiturnya:


Burgman



PCX





SMax


Sunday, November 24, 2013

Perbandingan Honda PCX 150 VS Suzuki Burgman 200 VS Yamaha SMax 155, Bagian 1: Spesifikasi



Sementara blog lain sedang bergantian mengulas upaya YIMM meluncurkan moge dan skuge (Skutik gede-nya) saya malah berandai-andai. Andaikata AHM, SIS, dan YIMM sepakat untuk meluncurkan mid size skutiknya di Indonesia, pastilah persaingan bakal lebih semarak. Setelah Honda sukses dengan PCX-nya maka Yamaha tak mau ketinggalan merilis skutik mid size (yang konon update-an nya Cygnus?) dengan label nama Majesty S (di Jepang) dan SMax (di negara lain). Saya pilih SMax aja deh biar cocok dengan tipe skutik lainnya Yamaha T-Max dan X-Max.

Suzuki pun tak mau kalah belakangan merilis update-an Skywave 125/200-nya, Burgman 125/200 (di negara lain). Maka jadilah komplit peta persaingan di kelas skutik mid size. PCX 150 berjaban dengan Burgman 200 dan SMax 155.....Monggo dilihat komparasi spesifikasinya....


Ada satu yg belum dimasukkan dalam tabel komparasi ini yaitu masalah harga. Mengingat baru PCX yang dijual disini dan harganya sudah pasti sekitar 34-36 juta, maka harga skutik lain baru bisa ditebak-tebak. Katakanlah SMax yang di Jepang dibandrol sekitar 340.000 yen dijual disini di angka 40 juta-an sementara Burgman yang sebenarnya di rakit di Thailand dijual seharga 4900 dolar di USA disini katakan saja masuk ke angka 50 juta-an (mudah-mudahan bisa lebih murah lagi). Dengan demikian secara harga masih lebih kompetitif PCX.





Berdasarkan tabel diatas dan info lain maka plusnya PCX adalah harga lebih murah, ada fasilitas ISS, ESP, ban 14, ukuran lebih kompak, ground clearance paling tinggi, rasio kompresi juga lebih bersahabat. Minusnya bagasi paling kecil, rem belakang masih tromol, dashboard terbilang biasa, tenaga kurang istimewa, kapasitas tangki juga kecil.




Sedangkan plusnya Burgman adalah tenaga paling besar, bagasi paling luas (muat 2 helm), dashboard paling mewah, ada opsi ABS, tangki besar,  seat height rendah, lampu paling terang. Minusnya harga paling mahal, ukuran paling panjang dan paling berat, teknologi mesin biasa saja, malah radiator konvensional (masih di depan), ukuran ban tidak umum, pilihan warna juga minim.




Sedangkan plusnya SMax adalah suspensi belakang monoshock, flat deck, mesin sudah 4 valve. Minusnya ground clearance paling rendah, kompresi tinggi, lampu hanya satu, deck sempit, seat height tinggi. 


Jadi yang mana pilihan anda? Saya sementara ini tetap pakai PCX....:-)


Sunday, September 29, 2013

Koleksi Jam Warna-Warni


Kalau di tanya kenapa sih sudah jaman begini masih juga koleksi jam atau arloji? Jawaban saya karena saya suka, tapi alasan sebenarnya adalah karena jaman dulu gak kuat beli dan males pake soalnya kuatir di palak atau di jambret....(kayanya kata-kata jambret sinonim dengan jam dan bret artinya dipaksa tarik sampai bunyi bret....hehehehe maksa). Anyway alasan lainnya kenapa baru koleksi jam sekarang adalah jam itu sudah seperti aksesoris yang masih layak dipake cowok tanpa takut dibilang aneh...:-)

Nah makanya jangan heran kalau belakangan saya jadi doyan beli jam alias arloji. Tentunya gak sembarang jam saya beli. Kalau umumnya cowok doyannya pake jam yang dari metal, saya malah enggak tuh. Saya malah carinya jam dari plastik atau silikon yang warna-warni. Trend ini pernah ada jaman 90-an tapi sempat meredup sebelum kembali lagi seperti sekarang. Berikut merk-merk jam warna-warni yang bisa anda cari kalau pengen koleksi seperti saya. Kita mulai dari....



Swatch.
Jam ini adalah mbahnya trend jam warna-warni dari plastik dan silikon. Merupakan upaya terakhir dari Swiss watchmaker yang kewalahan menghadapi jam-jam murah bikinan Jepang di tahun 80-an. Untuk itu sebagai jawaban mereka gak lagi nyoba bikin jam presisi, berharga mahal yang selama ini sinonim dengan Swiss. Mereka mencoba menempatkan jam sebagai fashion statement yang berganti-ganti setiap musim. Untuk itu mereka membuat jam dari plastik berharga ekonomis (relatif) yang di update sesuai musim dan tahun. Nilai ekonomisnya mereka capai dengan menggunakan proses manufaktur modern (bukan hand made seperti dulu) dan supaya gak gampang di palsu dibuat dengan sistem menyatu dengan case. Juga parts yang ada dikurangi supaya tidak kompleks.
Walau demikian daya tahannya cukup mumpuni 

dan berani memberi garansi hingga dua tahun. Kalau jam yang anda beli rusak dalam 2 tahun, bakal di ganti atau di service gratis.  Dari segi desain Swatch paling top dikalangan kolektor jam warna-warni karena desainnya yang unik dan kualitas bahannya. Bahkan ada yang bilang jam Swiss paling murah ya Swatch. Buat Indonesia sih lumayan mahal karena harganya di mulai dari 800 ribu sampai hampir 3 juta-an.

Anda bisa beli jam ini di counter resminya di mal-mal  dan karena distributornya besar (MAP) anda tak perlu khawatir soal kesediaan parts umum. Servicenya include poles gratis karena lensa jam terbuat dari plastik atau mika. Kalau anda khawatir dengan ketahanan bahan plastik anda bisa memilih seri Irony yang terbuat dari metal. Untuk anak-anak ada seri flik-flak sementara untuk wanita ada seri bijoux.









ODM
Kalau desain swatch anda rasakan kurang mainstream anda bisa memilih jam bikinan ODM. Pabrik jam asala Hong Kong ini termasuk yang juga berani urusan desain jam, bisa dibilang ekstrim malah. Selain menggunakan desain dan material yang baru juga teknologi baru macam touch screen. ODM juga bekerjasama dengan beberapa desainer fashion terkemuka seperti JC/DC dan menghadirkan desain monumental seperti 'Lego Watch'. ODM juga berani dalam menggunakan style dan teknologi terbaru misalnya LED warna atau matrix. Pokoknya kalau mau jam yang unik coba deh liat koleksi ODM. Saking seringnya pake teknologi baru desain ODM termasuk yang sulit ditiru, kalau anda mendapatkan KW-nya biasanya pasti ada fitur yang kurang.

Walau demikian mereka yang kurang berani dalam ber-fashion statement sebaiknya tidak pakai ODM karena ukuran casenya besar 3,5 - 4 cm. Warnanya ngejreng banget lagi. Di Indonesia ODM sempat menjadi trend tapi sayang hanya sesaat karena distributornya (yang juga memegang beberapa merk) tidak lagi mempunyai outlet resmi dan lebih memilih konsentrasi di brand yang desainnya lebih kalem. Harga ODM asli pun terbilang cukup tinggi meski kadang ada yang di sale kalau over stock. Buat anda yang kesulitan membeli aslinya karena alasan ekonomis bisa melirik grosir jam di Senen dimana ODM KW masih bisa didapat. Cuma satu pesannya jangan sering dipamerin karena bisa ketauan kalau KW.








ICE
Ice termasuk produsen jam baru di Indonesia, tapi karena cukup agresif brandnya mulai dikenal masyarakat. Penggunaan warna yang berani termasuk seri yang menggunakan warna putih membuat Ice makin cepat populer. Keunikan Ice adalah desainnya di update setiap 2 tahun sekali. Karena masih baru terbilang mudah mengkoleksi Ice. Anda yang suka trend warna putih bisa mengkoleksi Ice. Dari segi durabiltas pun Ice termasuk cukup tinggi karena menggunakan mineral glass bukan plastik. Di counter resminya Ice didapatkan dengan kisaran harga antara 900 - 2 juta-an. Meski desainnya berasal dari Belgia movement (mesin jam) yang digunakan adalah mesin jam dari jepang Miyota. Warna-warna yang digunakan cukup fresh walaupun modelnya banyak yang serupa. Salah satu keunikannya adalah setiap pembelian diberikan kotak jam unik yang bisa digunakan sebagai celengan. Desainnya pun mirip lego.

Sayangnya karena model desain Ice yang cenderung serupa dan sepertinya tidak dilindungi paten banyak sekali model jam lain yang mengikuti gayanya. Kalau anda lihat jam dari Furla bahkan QnQ banyak yang modelnya mirip Ice. Celakanya lagi KW-nya Ice pun sangat mirip, bahkan kalau anda tidak pernah melihat Ice yang asli anda dengan mudah tertipu karena menyangka yang KW sama seperti aslinya. Saran saya kalau memilih Ice usahakan mencari model yang khas seperti Ice atau Ice Sili.







QnQMerk QnQ sudah hadir di Indonesia sejak tahun 80-an, mulanya dikira jam China (memang di manufaktur di China) tapi sebanarnya QnQ adalah anak perusahaan Citizen salah satu pembuat jam asal Jepang. Sehingga walau harganya murah movement yang digunakan adalah Miyota juga. Harga dan banyaknya model menjadi kekuatan QnQ. Untuk mengejar harga kompetitif QnQ hanya menawarkan garansi terbatas dan nyaris tak memiliki serviceable parts. QnQ juga sering dijual tanpa menyertakan packaging apa-apa selain plastik. Makanya banyak yang memandang sebelah mata.

Desain jam warna-warni yang dipilih QnQ banyak yang terinspirasi merk-merk di atasnya. Sehingga kalau anda anti jam KW dari merk terkenal tapi tetap ingin gaya bisa memilih QnQ saja. Belakangan untuk memperbaiki image QnQ melansir QnQ attractive dan grandeux yang menjadi model flagship dengan fitur dan kualitas lebih tinggi dibanding QnQ reguler. Karena murah yang perlu anda perhatikan adalah asli tidaknya jam yang anda beli dan saking banyaknya model yang ditawarkan lebih baik anda download katalognya dari website QnQ yang di update setiap semester. Kisaran harga QnQ antara 100 - 300 ribu saja.

Segitu dulu ya, sebenarnya masih banyak merk lainnya tapi kita bahas segitu dulu deh, lainnya nyusul kalau ada kesempatan.

Sunday, September 22, 2013

Indonesia International Motor Show


Mulai tanggal 19 September kemarin bertempat di Jakarta Expo Kemayoran digelar acara IIMS (Indonesia International Motor Show) 2013. Gelaran pameran mobil (walau ada motor sedikit), biasanya tidak pernah saya sambangi, maklum saya bukan konsumen R4. Namun IIMS kali ini sedikit berbeda karena pameran diramaikan oleh peluncuran LCGC (Low Cost Green Car) salah satu akal-akalan kebijakan pemerintah untuk menjual mobil berharga murah. Murahnya versi pemerintah lho bukan versi rakyat.

Seperti umumnya pameran pengungjung dikenakan tiket masuk yang harganya lumayan fantastis. Enam puluh ribu weekend dan Empat puluh ribu weekdays. Mau lihat barang dagangan kok mbayar ya? Pameran kali ini juga dibarengi ribut-ribut ngambeknya pak Gubernur DKI, gara-gara pemerintah cepat sekali mengeluarkan kebijakan LCGC tapi alot urusan kebijakan transportasi publik. Harap maklum™ Pak Joko soalnya ini kan urusan dagang, sementara soal transportasi publik kan urusan sosial. Cuannya lebih banyak LCGC ketimbang Transportasi publik.

Ketika saya dan istri datang sabtu kemarin ke IIMS bisa ditebak, sama seperti pameran lain berkonsep trade fair, pengunjung lebih banyak ditawari dengan agresif mobil-mobil baru seperti LCGC untuk dibeli ketimbang melihat informasi dan performa masing-masing mobil. Atraksinya lengkap ada mba-mba SPG yang cantik-cantik, ada mas-mas SPB yang ganteng-ganteng. Brosur yang sering kalau di showroom di irit-irit sekarang di umbar bebas. Ada tontonan, ada penawaran menarik buat yang punya uang, dan yang jelas banyak pengunjung yang berduit karena langsung inden

Karena kebetulan kita berdua seleranya adalah city car dan mobil kompak, maka kita lebih cenderung menyimak penampakan (yang nanti akan saya bahas di artikel berikutnya). Mulai dari Karimun Wagon R (yang benar-benar Karimun bukan Karimun palsu kayak MR), Datsun, Brio, Peugeot, Fiat, Smart dan Mini.....kok gak ada Agya dan Ayla? Maaf males liatnya karena nanti juga di jalanan banyak...Hehehehehehe. Lagian daripada ngeliatin Agya dan Ayla mending liat Toyota 86 dan Daihatsu concept car, karena lebih menarik.

Oke segitu dulu sementara sambil nunggu artikel lanjutan bisa liat penampakan model cantik di Fiat 500 ya....


Monday, September 16, 2013

Melanggar....

Kalau kita lihat di forum-forum dan blog atau status FB sering kita lihat pengendara R4 ngamuk-ngamuk berkeluh kesah soal brutalitas pengendara R2 yang tidak taat aturan lalu lintas. Kayaknya munafik ya soalnya kalau lihat gambar ini jelas-jelas pengendara R4 justru jadi pelopor budaya melanggar parah.

Gambar di ambil di Simpang Senen, bisa dilihat sebuah MPV warna silver yang jadi paling depan untuk urusan melanggar. MPV ini bisa sampai ke depan setelah masuk jalur Trans J di sebelah kanan saya kemudian belok ke tengah di Simpang Senen yang traffic lightnya masih berwarna merah. Hebatnya kira-kira 5 meter di sebelah kanan ada Pos Polisi Lantas yang ternyata anggotanya cuek saja melihat pelanggaran ini.


Thursday, September 12, 2013

Forza vs PCX


Sebenarnya tidak cocok membandingkan Forza dengan PCX mengingat selain kubikasinya berbeda target yang disasarpun tidak sama. Jika PCX diposisikan sebagai comuter light cruiser maka Forza sudah masuk dalam kelas full cruiser meskipun termasuk kategori entry level. Namun demikian bagi pasar Eropa dan sedikit Amerika, tempat dimana kedua skuter ini dipasarkan dengan agresif sebagai produk global, maka tak ayal keduanya sering dibandingkan. 



Menggunakan basis yang mirip dan garis desain serupa Forza yang line-nya telah lebih dulu hadir sebelum PCX, kali ini seolah menjadi tipe yang memenuhi berbagai tuntutan yang kurang di PCX. Bukan rahasia di pasar Amerika yang cenderung mengadopsi motor dengan kubikasi besar, kehadiran skuter dengan kubikasi tanggung macam PCX yang cuma 150cc belum mampu memuaskan dahaga para penggila power yang butuh akselerasi di highway Amerika yang mensyaratkan kecepatan minimal 55 Mil/Jam. 



Meski PCX sudah mampu memenuhi standar minimal kecepatan namun kala harus berakselrasi dengan dua penumpang berukuran jumbo di kecepatan 55-60 Mil maka power yang dimilikinya  terasa kurang memadai. Makanya Forza yang di kerek ke 300cc dianggap lebih sesuai untuk pasar Amerika yang kalau mau jujur sebenarnya termasuk pasar minoritas untuk skuter. Barangkali Honda terpaksa mengeluarkan Forza karena berambisi mendongkel dominasi Suzuki lewat Burgman 400 dan 650-nya. Bukan hanya power yang meningkat berbagai fitter skuter maxi entry level pun dibenamkan ke Forza mulai dari CBS Front and Rear Disc, Bagasi yang lebih luas, Tachometer dan Jam sampai Laci depan yang dapat di lock dan HISS menjadi fitur-fitur unggulan skuter yang pasti kena PPnBM kalau dijual di Indonesia ini. 





Sayang skuter yang keliatan gagah ini selain masih menggunakan basis kerangka yang mirip dengan PCX juga minus fitur ISS dan ESP. Sepintas jadi terlihat seperti PCX on dopping. Bahkan karena pengaruh console depan yang menggembung pijakan kaki meski masih bisa selonjor terlihat sempit dan membuat jarak lutut pengendara menjadi dekat dengan laci.




Makanya jika menilik harganya ditambah PPnBM maka PCX jelas terlihat lebih value walau minus fitur-fitur Forza. Barangkali kalau pasar Indonesia lebih dewasa maka Honda perlu memikirkan versi khusus Forza untuk kebutuhan lokal. Mungkin dikawin silangkan saja fitur-fitur PCX dan Forza plus kubikasi dipangkas 50 menjadi 250cc agar tidak terkena PPnBM. 



Wednesday, September 11, 2013

The Art of Collecting Replica Watch


Setelah bertahun-tahun tinggal di Senen, baru belakangan nyadar bahwa di deket rumah ada grosiran jam paling besar se Indonesia. Sebenarnya dari dulu sering jalan-jalan lewat Senen Jaya tapi dulu tempatnya sepi dan gak asyik buat disambangi karena preman dan jambretnya gak banget. Tapi sekarang udah lumayan mendingan makanya sudah berani jalan-jalan ke sana lagi. 

Surprise-surprise di sana menemukan koleksi ICE watch yang lumayan mirip seperti ini....





Buat perbandingan ini koleksi asli jam ICE yang harganya sampai jutaan....






Monday, September 9, 2013

Bebek VS Matik lagi

Kalau dulu kebanyakan orang sukanya motor bebek sekarang jaman sudah berubah orang sukanya naik skutik. Apa benar? Menurut statistik sih begitu. Pelan-pelan pasar bebek mulai digerogoti oleh skutik. Biarpun awalnya orang banyak mengkritik skutik sebagai motor banci, motornya cewek, boros, dst, kebutuhan akan kendaraan yang fungsional dan mudah dikendarai tak bisa terbantahkan. Tapi apakah pasar motor bebek benar-benar habis? Sebenarnya tidak atau tepatnya belum. Di kota Jakarta yang padat merayap sekalipun motor bebek belum benar-benar musnah. Meski jumlahnya kini mulai sebanding dengan matik, kemampuan bebek sebagai kuda beban belum tergantikan sepenuhnya. Jujur saja bebek yang pada saat masih karburator saja sudah terkenal irit karena per liter bisa tembus 60kpj, kini tambah irit karena sudah mulai menggunakan fuel injection. Kubikasinya pun sudah naik di kisaran 125 tentu ada juga bebek super yang disebut ayam jago karena sampai 150cc. Beberapa sudah mulai aplikasi bagasi helm-in, bahkan sudah ada upaya aplikasi CVT meski akhirnya mati suri.

Tapi ditengah-tengah gempuran matik ada juga rumor yang menghinggapi salah satu ATPM Jepang yang ditenggarai bakal mencoret bebek dari jajaran motornya. Adalah Kawasaki sebagai salah satu ATPM yang memang kurang sukses dengan bebeknya. Konon karena konsumen lebih senang dengan produk motor sports Kawasaki dibanding bebeknya. Bahkan jika sebelumnya Kawasaki pernah akan meluncurkan matik, maka rencana itu tampaknya juga dicoret menyusul ketidaksuksesan bebek Kawasaki. Lantas apa yang menyebabkan bebek Kawasaki tidak sukses? Apakah karena produk bebek Kawasaki jelek? Jika itu kesimpulannya tentulah keliru besar. Selain mutu bebek Kawasaki masih sejajar atau malah diatas sedikit produk bebek ATPM Jepang lainnya, Kawasaki juga sudah berupaya meluncurkan bebek yang inovatif. Selain Kaze yang merupakan entry level kelas Bebeknya, Kawasaki juga menghadirkan ZX 130 yang menjadi satu-satunya bebek dengan tangki bensin di depan. Jadi pengendara tak perlu repot2 buka jok untuk mengisi bensin. Jika ZX yang diberi label baby ninja belum cukup, Kawasaki masih punya Athlete varian bebek monoshock yang bergaya motor laki. Lagi-lagi dengan tangki bensin diluar layaknya motor sports. Sayangnya ke tiga varian ini tidaklah sukses-sukses amat. Minimal dibanding motor sports-nya sambutan konsumen pada bebek Kawasaki boleh dibilang adem ayem. Lantas apa sebabnya?

Sebagai motor, pada masa jayanya dulu bebek adalah motor mayoritas orang Indonesia. ATPM besar macam Honda dan Yamaha cukup sukses mendulang pundi-pundi lewat bebek. Bahkan bebek C-Series Honda sudah dianggap motor klasik yang layak dikoleksi. Yamaha pun memiliki penggemar bebek yang fanatik lewat Jupiternya. Lantas kenapa bebek Kawasaki malah gak laku? Mungkin Kawasaki perlu memahami dulu bagaimana psikologi dan logika konsumen bebek yang ada saat ini. Ketika bebek menjadi mayoritas di pasar motor Indonesia, bisa dibilang sebagian besar konsumennya menggunakan bebek karena tidak ada pilihan (sekarang pun masih begitu). Pengennya punya motor sports tapi apa daya keuangan gak memadai makanya terpaksa pilih bebek. Nah sekarang dengan tingginya persaingan dan banyaknya pilihan orang-orang yang pakai bebek karena terpaksa jumlahnya jadi berkurang banyak. Kenapa harus pilih bebek kalau bisa kredit motor sports, toh sekarang mulai banyak motor sports yang murah ada Thunder, Verza dan TVS naik sedikit ada Pulsar, Vxion, Byson dan bahkan CB. Sebagian besar lagi konsumen bebek tidak puas pakai bebek karena biarpun sudah semi manual, tetep butuh oper gigi, kakinya masih nongkrong di cagakan (yg bentuknya begitu-begitu aja dari jaman dulu... kenapa gak di desain lebih selonjor kaya crusier gitu?), dan ini yang paling bikin KO...ruang naruh barangnya kurang luas. Lho kan sudah helm-in juga. Iya tapi kan kalah sama matik yang punya dek rata (lihat kan matic buat angkut galonan aqua?) jadi masih bisa buat naruh barang bahkan orang. Maka bebek pun kehilangan separo konsumennya lagi. Apalagi harga matik dan bebek sama-sama bersaing ketat di level entry.

Nah di tengah-tengah kondisi seperti itu jika ATPM memaksakan bermain bebek tentunya akan menghadapi pasar yang sangat kejam. Lha sudah konsumennya mengecil ATPM yang perang besar-besar semua. Buat Kawasaki sebagai ATPM yang dulu pernah gulung lapak untuk sementara waktu ya bukan kerjaan gampang. Bisa dilihat di Suzuki ATPM Jepang menengah sekelas Kawasaki yang ngotot bermain bebek, salah strategi sedikit (karena buru-buru mempensiunkan Shogun 110 yang legendaris) pasarnya langsung rontok hingga tinggal menyisakan Satria bukan saja sebagai satu-satunya bebek Suzuki yang masih laku tapi juga satu-satunya produk motor Suzuki yang masih laku (dan ini pun mungkin gak lama lagi abis masanya). Makanya kalau benar Kawasaki mau konsentrasi ke motor sports saja lebih bagus. Ngapain ngotot bertahan di bebek kalau produknya yang laku memang motor sports.

Sisa konsumen bebek itu sekarang adalah orang-orang yang bertahan karena daerah tempat tinggalnya lebih cocok pakai bebek misalnya di daerah yang masih banyak jalan tanahnya tapi kekuatan keuangannya belum cukup buat beli motor sports. Untuk itu mereka akan milih beli bebek entry level. Di sini yang jadi raja tentu Honda dan sisanya jatuh ke Yamaha dan Suzuki. Mereka akan pilih bebek yang gampang di service, tidak harus ke bengkel resmi dan parts KW-nya banyak.

Saturday, September 7, 2013

Seni hidup hemat tapi gaya....

Judulnya cukup kontroversial gimana tuh hidup hemat tapi gaya? Rasanya tidak mungkin.....Eits tunggu dulu siapa bilang gak mungkin? Semuanya mungkin selama kita bisa puter otak. Memang biaya hidup di Jakarta makin hari makin meningkat dan ditambah rupiah melemah, inflasi tinggi, pajak naik. Wah klop lah sudah bagi golongan menengah sewaktu-waktu bisa terdorong kembali ke jurang bawah. Cuma toh kalau kita puter otak kita masih bisa menikmati apa yang ada menjadi lebih. Contohnya ya itu hidup gaya. Itu kan tuntutan juga. Masa gara-gara harga-harga melambung lantas kita bermuram durja? Tampilan jadi lusuh dan mati gaya. Santai dong coba kita lihat apa yang bisa dilakukan. Pertama-tama coba di data berapa rupiah selama ini keluar buat mendongkrak penampilan? Mulai dari busana, sepatu sampai aksesoris seperti jam tangan. Kesannya mungkin hanya bisa ditebus dengan harga mahal tapi ternyata enggak juga lho.



Kita mulai dari busana saja dulu. Minimal kan kita harus punya dua jenis busana yaitu Formal dan Casual. Nah untungnya buat mereka yang aktifitas kerjanya tidak harus pakai seragam banyak pilihan yang bisa dipakai. Saya misalnya karena tidak harus pakai seragam atau lengan panjang polos memilih pakai batik saja. Untungnya batik lagi trend dan banyak jenis dan kualitasnya harga pun terjangkau ya sudah beli saja banyak-banyak jadi setiap hari gak pernah sama. Urusan celana saya biasa pake jeans, sudah lama saya memilih membeli Wrangler ketimbang Levis yang selangit. Tapi lambat laun Wrangler jadi mahal sehingga saya beralih ke Tira yang lebih akur di kantong.





Dari sana pindah ke urusan sepatu. Untuk sepatu saya selalu pakai yang cocok untuk naik motor. Biasanya model boots. Untuk merk biasanya pakai Rockport ada satu Timberland, Geox. Tapi ketiga merk ini sekarang jadi mahal ampun-ampunan meski kualitas prima toh harganya bikin geleng-geleng. Maka saya beralih ke merk lain untungnya ada Weinbrenner. Merk yang sekarang dimiliki Bata ini harganya bisa seperempat Timberland. Sementara model dan daya tahan lumayan bagus dan awet.

Sekarang urusan jam tangan atau arloji. Syukurnya saya bukan tipe yang suka pakai jam blink-blink dari metal. Ada sih merk Seiko tapi saya lebih suka yang murah meriah sehingga bisa pakai Casio. Bukan Casio G-Shock yang berat dan tebal tapi tipe standar yang baterainya sampai 10 tahun. Gimana untuk tas? Untuk tas meski punya tas ransel kamera merk Lowe Pro yang life-time warranty tapi sehari-hari saya pakai merk Bodypack yang murah tapi kuat dan tahan lama.

Monday, September 2, 2013

Capdase Mobile Phone Bracket a Go Pro for the poor

Salah satu asesoris yang belum sempat nangkring di PCX saya adalah GPS dan Kamera. GPS saya butuhkan karena saya sudah rasakan kebutuhannya mana kala harus mencari alamat saat bermotor. Rasanya sekarang mulai sulit mengandalkan bertanya karena selain penduduk Jakarta mulai tidak kenal satu sama lain, juga perkembangan Jakarta yang cukup cepat membuat orang yang hidup di Jakarta pun belum tentu kenal daerahnya. Apalagi mengingat perubahan lalu lintas di Jakarta yang cukup sering membuat kita kerepotan. Problemnya adalah harga GPS untuk motor yang tidak murah. Jika GPS untuk mobil mulai ditawarkan dimana-mana dengan harga sekitar 1 juta, maka GPS untuk motor masih cukup mahal untuk ditebus. Alasannya karena GPS untuk motor memerlukan kemampuan water proof dan batre tersendiri. Begitu juga halnya dengan kamera. Saya juga membutuhkan kamera lebih sebagai alat untuk mendokumentasikan kejadian di jalan. Ketika terjadi insiden di jalan sering kita harus berurusan dengan pihak yang ngotot. Karena ujungnya cuma antara kata-katanya versus kata-kata kita maka pembuktiannya bisa berbelit. Untuk itu diperlukan kamera. Memasang kamera juga hal yang sudah jamak dilakukan di mobil tapi di motor memerlukan perangkat yang cukup mahal. Misalnya menggunakan Go Pro yang masih dikisaran 3-4 juta belum termasuk bracket.

Akhirnya saya berusaha mendayagunakan apa yang ada. Masalah terbesar dalam memasang perangkat GPS dan kamera di motor adalah bracket. Tidak banyak yang menawarkan bracket GPS dan Kamera di motor. Selain karena memasang perangkat tambahan seperti itu di motor rawan dicuri (helm saja yang sudah di sangkutkan ke kaitnya di motor di sambar makanya ada helm dengan security hole), pemasangan bracket di rata-rata motor memerlukan upaya lebih. Maklum stang motor matik di Indonesia rata-rata menganut sistem tertutup casing bukan terbuka seperti stang motor sports atau sepeda. Untungnya di PCX stangnya menganut sistem terbuka sehingga memasang bracket tidak lagi jadi kendala. Beberapa minggu yang lalu ketika sedang iseng berkeliling di PI (PI= Plaza Indonesia ya kalau PIM baru Pondok Indah Mall) saya menemukan bracket untuk mobil phone bermerk Capdase. Bracket ini sebenarnya untuk sepeda dan terbuat dari plastik tapi setelah saya lihat rasanya bisa diadopsi di motor. Akhirnya saya beli dan coba dipasang, tadinya saya mau pasang di bagian tengah stang PCX tapi ternyata tidak muat karena tiang bracketnya memiliki lengkungan yang cukup tebal. Terpaksa dialihkan ke sebelah kiri.

Setelah terpasang saya coba sandingkan dengan smartphone kedua saya Motorola Defy. Kebetulan karena pernah mengalami kecelakaan dengan air pada smartphone terdahulu saya memutuskan untuk memiliki satu buah smartphone yang tahan banting dan tahan air. Nah ternyata menggunakan Motorola Defy ini saya memiliki dua keuntungan sekaligus. Karena ber OS-kan Android saya tinggal mencari aplikasi GPS dan aplikasi perekam saat berkendara. Untuk GPS-nya saya coba Sygic yang sudah cukup lengkap untuk melayani kebutuhan saya dalam mencari arah. Sedang untuk aplikasi perekam saya menggunakan Dailyroads Voyager. Kedua aplikasi ini ternyata cukup berfungsi dengan baik dan bisa diandalkan. Sygic bisa melock satelit GPS dengan cukup cepat lebih baik dari aplikasi default yang biasanya malah tidak bisa me-lock posisi meski sudah dibantu dengan HSPDA ataupun wifi. Selain itu saya juga melakukan modifikasi kecil untuk menambah keamanan smartphone saat di Bracketnya. Yaitu memasang lanyard rope dengan sedikit modifikasi dari lanyard senter LED kecil dipadukan dengan lanyard dari USB flashdrive. Hal ini dilakukan karena Bracket Capdase hanya menggunakan sistem jepit yang mungkin masih meragukan mengingat getaran di Jalan bisa memperlemah gear lock geser dari cradlenya.

Total jendral biaya adalah:
Bracket Capdase Rp 200.000 (di beberapa tempat bisa lebih murah)
Motorola Defy (kebetulan sudah punya)
Sygic GPS Rp 200.000 (ada versi trial-nya)
Dailyroads Voyager (free)
Lanyards (modif dari yang sudah ada)

Kalau dilihat jauh lebih murah ketimbang berusaha membeli GPS khusus motor + Go Pro. Nah anda mau mencoba juga?

Monday, August 26, 2013

Sepatu oh Sepatu

Sepatu buat saya adalah kebutuhan sekunder yang jauh lebih penting ketimbang pakaian. Bukan karena saya rela telanjang asalkan masih bersepatu tapi karena kaki saya ukurannya cukup besar buat orang Indonesia. Repotnya buat orang yang ukuran kakinya sudah diatas 42 (Kaki saya 43,5 jadi nomer sepatunya antara 43-44) sering susah mencari sepatu. Kebanyakan sepatu di Indonesia dibuat untuk ukuran maksimal 42, meski seiring perbaikan gizi sekarang mulai ada yang membuat ukuran sampai 45. Selain itu karena saya bersepeda motor maka sepatu yang saya gunakan pun harus punya durability yang tinggi seperti water resist, kalau perlu water proof dan tapak sol yang tidak cepat habis. Jadilah saya harus mencari sepatu impor yang harganya sering mencekik leher. Beberapa waktu pernah saya coba menumpuk stock yaitu punya beberapa pasang sepatu cadangan (yang kebetulan bisa di tebus dengan harga murah). Sialnya ternyata karet sepatu memiliki masa kadaluarsa yang tak bisa ditawar-tawar. Jika sudah sampai masanya terlewati pelan-pelan dia akan momot atau mrotoli jadi serpihan dan lengket. Wah sebalnya bukan main. Belum puas di pakai sudah rusak. Repotnya lagi jika sol-nya bentuknya fancy tukang service juga tidak bisa memperbaikinya.

Seperti saat ini beberapa sepatu saya sudah mulai ada yang solnya aus ataupun karetnya mrotoli. Sepatu Geox touring saya misalnya, setelah umurnya mampu diperpanjang dengan mengganti retslitingnya yang telah rusak akhirnya harus dipensiunkan karena karet solnya sudah terkikis habis. Sepatu yang lain lagi Rockport XCS juga karetnya mrotoli (dan ini bukan Rockport pertama yang karetnya mrotoli). Repotnya tidak banyak pilihan sepatu boot di Jakarta yang water proof, bagus desainnya, enak dipakai dan harganya terjangkau. Ambil contoh Timberland salah satu merk yang saya juga punya boot-nya. Walau enak dipakai dan water proof harganya lumayan tinggi. Bisa sampai 1,7 juta per pasang. Padahal sepatu boot paling mahal yang saya beli cuma berharga 800 ribu itu pun karena diskon 50%. Maka jadilah kini saya mulai kehabisan stock sepatu. Saat ini saya berganti-ganti memakai Rockport Adiprene casual, Hi-Tec Boot (yang full water proof) dan Rockport boots yang masih tersisa. Beberapa yang sudah saya pensiunkan adalah Geox Touring Boot, Rockport XCS Casual, Rockport XCS Boot, Timberland Boot (karena solnya sudah retak). Jadi setiap pergi ke mal sekarang selalu pasang mata dan menghitung isi dompet mana kira-kira sepatu yang bisa dibeli untuk mengganti yang sudah pensiun.

Tuesday, August 20, 2013

Arloji, masihkan menjadi perangkat canggih penunjuk waktu?

Di jaman ini sebenarnya fungsi penunjuk waktu yang melingkar di tangan boleh dibilang sudah digantikan oleh widget pada smartphone. Apalagi di negara yang jam karet sudah jadi budaya dimana-mana. Kalau masih ada orang getol membeli arloji fungsinya mungkin sudah seperti asesoris atau perhiasan. Saya sendiri termasuk orang yang masih senang pakai arloji atau jam tangan. Bukan apa-apa meski di pinggang sudah tersemat dua buah smartphone android, masih lebih cepat melirik ke pergelangan tangan ketimbang mencabut handphone. Apalagi saat berhenti sejenak di perempatan kala berkendara, salahnya motor mahal kok tak dilengkapi jam.

Casio HD


Sebenarnya kebiasaan menggunakan arloji saya selalu angin-anginan. Beberapa kali pakai dan ketika arloji rusak akan ada jeda waktu bagi saya sampai memakai arloji lagi. Maklum arloji yang saya beli biasanya arloji kelas murahan atau malah hadiah. Apalagi kalau rusak saya tak pernah berusaha sekadar mengganti batrenya atau memeriksakannya ke tukang service. Baru belakangan saya mulai serius membeli arloji yang agak tahan lama. Sekitar tahun 2009 kalau tak salah ingat saya membeli Casio HD dari seri standard yang baterenya di klaim tahan 10 tahun. Saya membelinya di Mustafa Singapura. Itu seri paling murah dari Casio berbentuk analog. Fiturnya tak macam-macam hanya ada petunjuk tanggal dan jarum detik. Kondisinya saat ini sudah penuh goresan di permukaannya karena hanya terbuat dari mika dan band-nya sudah berganti band karet resin generic karena fastenernya sudah putus. 
Seiko 5

Pada saat mengganti band tersebut di toko arloji di daerah Pasar Baru akhirnya saya tertarik membeli arloji baru yang lebih layak, karena kadang-kadang saya harus datang ke acara formal. Akhirnya setelah lihat-lihat berbagai koleksi saya memilih Seiko 5 automatic. Mudah-mudahan harganya tidak kelewat mahal karena ini sebenarnya adalah seri tahun lalu yang sudah didiskon lumayan. Arloji ini selain automatic (sehingga tidak butuh batere) juga materialnya terbuat dari metal sehingga lebih tahan banting. Bahkan permukaannya terbuat dari gelas mineral yang tahan gores (bukan anti gores lho). Repotnya karena automatic arloji ini sangat mengandalkan goyangan tangan sehingga kadang sering brehenti sendiri manakala momen goyangan tangannya sudah berhenti. Saat-saat seperti itu kadang agak memalukan karena toh akhirnya saya terpaksa merogoh handphone mencocokan jarum di arloji dengan waktu sebenarnya dan menggoyangnya lagi. 


Ice Watch

Karenanya meski tampilannya keren sehari-harinya saya lebih sering menggunakan Casio HD ketimbang Seiko 5. Akhirnya karena mulai bosan dengan tampilan Casio HD yang mulai kelihatan kumuh, saya tertarik membeli arloji baru lagi. Mula-mula yang saya incar adalah arloji warna-warni yang sedang trend. Sebelumnya saya tidak berani mengincar arloji warna-warni seperti ini karena merknya harus terkenal. Sayangnya merk terkenal identik dengan harga mahal. Tapi setelah saya jalan-jalan ke Mal rupanya harganya tidak semahal yang saya duga (beberapa masih dibawah harga 1 juta).

Swatch Red Rebel

Merk pertama yang saya taksir adalah Ice Watch dari Belgia, meski belum seterkenal merk lain karena baru muncul tahun 2007. Desainnya atraktif malah koleksi tahun 2013-nya (yang kelihatannya belum masuk Indonesia) bekerja sama dengan Pantone. Wuih jam yang cocok banget buat seorang desainer. Tapi setelah melihat tipe yang paling murahnya masih dijual dengan kisaran 800-900-an ribu rupiah saya terpaksa pikir-pikir dulu. Merk lain yang saya taksir adalah Swatch, bahkan di awal 2000-an sudah sempat mau saya pinang kala dikirim kantor ke Singapura. Tapi lagi-lagi pertimbangan keuangan kala itu belum memungkinkan dan saya masih merasa rugi kalau membeli jam plastik. Padahal saat itu saya akhirnya beli jam plastik beneran yang baru beberapa saat cat silvernya sudah luntur. Kali ini saya lihat tidak semua Swatch semahal dulu malah beberapa ada yang lebih murah dibanding Ice Watch. Kapan-kapan mungkin layak saya beli lihat isi kantong deh. Tapi saya sudah siap incar tipe Red Rebel supaya match dengan warna PCX hehehehe.

Casio AW-8X


Nah akhirnya arloji apa yang saya beli untuk menggantikan si Casio HD? Ternyata Casio lagi tepatnya Casio AW-80. Saya pilih yang ada unsur warna merahnya, walaupun materialnya terkesan plastik murahan seperti mainan di pasar tradisional (cukup berbeda dibanding fotonya di internet). Hebatnya meski masuk kelas standard fitur-fiturnya cukup fungsional. Mulai dari water resist sedalam 50m (lumayanlah kuat dibuat hujan-hujanan dan basah-basahan), paduan analog dan digital (saya kurang suka jam yang full digital karena biasanya sulit dilihat kala terik), memiliki iluminator LED (meski bukan fitur baru karena sudah ada dari tahun 80-an, dan biasanya warna LED-nya cenderung norak dan bocor), alarm (gak bakal kepake sering-sering karena saya bukan orang yang butuh selalu tepat waktu bangunnya), telememo (catatan nomer telpon yang mungkin berguna kalau batre handphone habis saat darurat), stopwatch, timer (gak bakal dipake) sisanya sih standard seperti tanggal dan penunjuk detik karena jarumnya hanya terdiri dari panjang dan pendek tidak ada jarum rambut untuk detik. Disayangkan tapi mau bagaimana wong harganya cuma segitu.



Pasar Baru 
Hal menarik yang saya temukan saat mencari jam ini adalah, saat berkeliling kota (well sebenarnya cuma di sekitar Jakarta Pusat) saya sudah coba ke Casio Center di Juanda dimana stock-nya malah tidak ada dan Casio sepertinya lebih mengkedepankan seri G-Shock-nya yang bukan selera saya (karena selain tebal ukurannya juga luar biasa besar dan mahal) sebab wujudnya seperti mecha era 80-an. Ujungnya saya melangkah ke Pasar Baru yang walau dekat rumah tidak terlalu sering saya sambangi. Selain kondisi Pasar Baru sudah cukup berantakan (lagi-lagi karena kawasan ini berulang kali di renovasi tapi berkali-kali selalu jadi kumuh) cukup repot keliling toko di Pasar Baru yang kalau menawarkan harga sering bagai langit dan bumi. Uniknya toko arloji di Pasar Baru senang sekali menawarkan harga dengan embel-embel belum di diskon dan pramuniaganya segera memencet kalkulator seraya berkomat-kamit.....dikurangi diskon 30% maka....voila jadilah harga sebenarnya. Saya rasa taktik saja karena sebenarnya memang harga aslinya segitu. Setelah 2-3 toko barulah saya temukan si merah AW-80 (kalau warna lainnya biru dan kuning ada dan terus terang warna merah memang yang kelihatan paling redup) setelah tawar menawar dengan cukup sadis. Akhirnya jadilah Casio ditebus dengan harga serupa toko online di Internet. Tentu saja ini Casio asli karena selain dibubuhi kartu garansi dan manual juga diberi wadah kaleng dan dus. Minimal jauh lebih niat ketimbang saat saya beli Casio HD di Mustafa Singapura. Disana selain arloji-arloji di pajang seadanya (sehingga lebih mirip pajangan grosir ketimbang toko) kita cuma dibekali nota dan wadah berupa dompet plastik model toko emas di pasar tradisional lengkap dengan tulisan bersepuh emas yang sudah jarang saya lihat di Jakarta. Hehehehe.....

Sunday, August 11, 2013

Mau berapa besar ?

Bicara soal kubikasi pada motor yang beredar di Indonesia seperti membicarakan fitur canggih pada smartphone. Semua pengguna maunya spesifikasi setinggi-tingginya tapi ujung-ujungnya akan terbentur dengan realita yang ada. Pada smartphone banyak fitur canggih tidak atau belum bisa dimanfaatkan akibat kualitas jaringan yang belum memadai. Lha punya smartphone berkoneksi LTE tapi sekadar sinyal 3G pun masih kembang kempis. Jangankan bervideo phone ria mau update status di FB saja sering gagal. Hal yang sama berlaku di motor semua maunya punya kubikasi yang besar karena identik dengan tenaga ganas, tapi apa daya jalannya macet bukan kepalang.


Yang penting besar Bro?




Saat ini konsumen motor di Indonesia baru puas kalau motor baru yang dia beli memiliki kubikasi mulai dari 125cc. Menggeser trend kubikasi 110cc-115cc yang masih jadi standar di beberapa motor entry level. Beberapa malah baru lega jika kubikasi mulai dari 150cc dan tertawa lepas ketika kubikasi mentok di 250cc.  Di atas 250cc biasanya konsumen mulai mikir soal pajak dan konsumsi bbm meskipun tetap mengidamkan kubikasi 400cc atau bahkan 1000cc. 

Saya sendiri termasuk konsumen yang mulai belajar naik motor lewat kubikasi 110cc. Cuma karena ini motor 2 Tak katanya powernya sebenarnya setara dengan 220cc di motor 4 Tak. Makanya dulu tidak heran lumayan repot belajarnya. Sedangkan di era 4 Tak saya mulai dari 110cc ke 125cc dan baru sekarang masuk di kelas 150cc. Rasanya maksimal kubikasi yang saya bisa handle akan mentok di 250cc saja. Lewat dari sana rasanya bakal emoh. Kecuali entah bagaimana ada mukjijat yang bisa mengubah lalu lintas Jakarta jadi senyaman era 80-an dan jalan tol boleh dilalui kendaraan roda dua. Bukan apa-apa ketimbang meringis menahan berat dan panasnya motor kubikasi besar di tengah kemacetan, mendingan pakai motor yang kubikasinya pas untuk kemacetan. Tidak kebesaran tapi pas sedang-sedang saja.

Friday, August 9, 2013

Antara Skutik dan Pengendara Wanita

Hari ini ada sebuah tragedi yang menarik perhatian saya yaitu berita kecelakaan pengendara matik di situs detik. Dalam berita yang cukup singkat ini (sepertinya memang taktik detik untuk menarik pengunjung beritanya di buat pendek dan singkat agar menarik pembaca), disebutkan seorang wanita pengendara skutik Yamaha Mio kecelakaan di Jalan Sudirman di depan hotel Le Meredien. Kecelakaan terjadi disinyalir karena pengendara lepas kendali sehingga menabrak trotoar dan akhirnya tewas. Tidak disebutkan secara detail apa penyebab pengendara lepas kendali. Juga tidak disebutkan sebab-sebab lain timbulnya kecelakaan tersebut. Anehnya pada kolom komentar banyak pembaca langsung menyimpulkan kecelakaan terjadi karena pengendaranya wanita. Sebagian lagi ada yang berpendapat karena jenis kendaraannya.  Meski kolom komentar berita di situs detik cukup terkenal dengan komentar-komentarnya 'yang terlalu bebas' menarik untuk disimak bahwa jenis kelamin dianggap sebagai penyebab kecelakaan. Juga sama menariknya ketika penyebab kecelakaan di daulat akibat jenis kendaraannya yaitu skutik.

Jalan Depan Le Meredien

Pada hari ini sebenarnya saya sempat melewati jalan yang sama sekitar pukul 12 siang. Keadaan cukup sepi dan lengang karena merupakan hari ke-2 Idul Fitri. Seperti yang saya sudah sampaikan di beberapa artikel yang ada di portal indomotoblog bahwa justru dalam keadaan sepi seperti sekarang pengendara harus lebih berhati-hati. Sebab selain kita terdorong untuk memacu motor secepat-cepatnya karena kondisi jalan yang lengang, juga karena disekitar kita banyak pengendara yang kurang trampil. Fakta sederhana yang terjadi setiap kali libur panjang. Saya tidak setuju dan tidak yakin jenis kelamin berkaitan dengan kemampuan berkendara karena justru sering menemukan lady biker yang sama trampilnya dengan pengendara pria. Begitu juga sebaliknya banyak lady biker yang sama sembrononya seperti pengendara alay. Jenis kendaraan yang disebut skutik dalam berita juga seharusnya tidak menjadi penyebab kecelakaan (mengandaikan skutik tersebut laik jalan). Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab kecelakaan dan itu merupakan tugas kepolisian lalu lintas untuk mencari penyebabnya. Kita yang hanya membaca tentu hanya bisa menebak-nebak apa sebenarnya yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut. 

Thursday, August 8, 2013

Box, Magic Jar, Top Case, Bagasi......

Awalnya saya termasuk orang yang anti pasang bagasi tambahan di belakang motor. Maklum dari sekian banyak motor CKD yang masuk kemari, apakah dia sports, skutik, bebek, tidak ada yang benar-benar dirancang untuk mendapatkan aksesori bagasi belakang. Hal ini bertahan sampai saya memiliki PCX.  Selain karena membutuhkan ruang tambahan, PCX merupakan produk global CBU yang telah dilengkapi lubang baut untuk bracket di tail grab (behel) nya. Meskipun untuk memasang bracket harus melubangi plastik tutup tail grab (behel). Bracket khusus PCX seharga 450-500 ribu ini terasa kokoh menopang box bagasi, dan didukung oleh  beberapa produsen asesoris bagasi seperti Givi, Kappa dan Shad. Saya sengaja memilih box bagasi yang ukurannya tidak terlalu besar karena saya tidak suka ukuran bagasi yang terlalu lebay. Selain tidak estetis tentu akan mempengaruhi handling motor.
Box Bagasi GIVI E16 Monolock di PCX


Sayangnya ketersedian lubang baut bracket, tidak terjadi pada motor-motor CKD yang umumnya hanya dijual untuk pasar Indonesia atau ASEAN. Selain tidak memiliki lubang baut khusus , bracketnya pun umumnya adalah bracket universal yang tidak presisi dan berharga murah. Salah satu kekurangan bracket universal lokal biasanya adalah daya tahan yang rendah terhadap guncangan sehingga rentan patah dan instalasinya mengharuskan tail grab (behel) yang ada dilepas. Parahnya banyak rider di sini yang memaksa memilih memasang box dengan ukuran oversize yang selain jelek secara estetika juga menganggu handling motor karena ukurannya yang terlalu lebay.

Instalasi Box pada motor CKD lokal




Sunday, August 4, 2013

Seandainya Suzuki dan Yamaha berani...keluarkan skutik Mid Size.

Melihat data bahwa penjualan motor di Indonesia sudah di dominasi Honda (AHM) sebanyak 60% sebenarnya menunjukan kedigdayaan pabrikan Jepang berlogo sayap ini. Hebatnya Honda tidak lagi bermain di segmen yang menjadi julukannya di masa lalu, yaitu sebagai raja bebek, tapi malah menjadi raja skutik. Yamaha yang tadinya memimpin lewat Mio-nya yang cukup merakyat akhirnya dipecundangi Honda lewat terjangan Beat-nya.

Honda PCX 125-150



Sayangnya meski angka penjualan skutik terbilang tinggi, pasar skutik di Indonesia masih dipenuhi oleh model-model skutik dengan bodi kompak (light size). Konon menurut riset pasar yang dilakukan pabrikan, orang sini tidak suka model skutik mid dan maxi size...(gak suka atau gak kuat beli ya karena bandrolnya kelewat tinggi?) Sehingga praktis hanya segelintir pabrikan yang berani memasukan skutik mid dan maxi globalnya.


Yamaha Majesty S / S-Max 155


Seandainya pabrikan agak mau berusaha inovatif tentunya konsumen tanah air sudah di suguhi persaingan skutik level mid-size. Disini Honda tampaknya menjadi satu-satunya pabrikan yang berani main di kelas skutik mid-size. Mungkin Honda berharap PCX-nya bakal fenomenal seperti Kawasaki Ninja di sports fairing. Makanya berani mulai duluan, sayang meski inden panjang, demand-nya dianggap belum memenuhi target Honda. Makanya AHM terlihat masih setengah hati memasarkan PCX.


Suzuki Skywave / Burgman 200 SS


Mungkin karena itu PCX Honda tidak di ikuti oleh dua pabrikan Jepang lain Yamaha dan Suzuki. Malah pabrikan non-Jepang seperti SYM, Benelli dan Viar berani masuk sedikit-sedikit.  Padahal kalau saja berani Yamaha tentu bisa merilis S-Max-nya disini dan Suzuki tinggal membopong Skywave 150/200 kemari. Pasar skutik mid-size mulai semarak dan kita gak bosen cuma disuguhi skutik lightsize selap-selip di jalanan.

SYM Joyride 200i




Friday, May 17, 2013

Yamaha S-Max 160, Mid Size Scooter Pesaing Honda PCX?

Tanggal 16 Mei lalu setelah sebelumnya nonggol di Osaka Motorcycle Show akhirnya varian terendah skuter Yamaha di lini Majesty, Yamaha S-Max 160 di luncurkan di Taiwan. Skutik yang sebelumnya dilabeli Majesty S 155, Akhirnya dilabeli S-Max untuk pasar Taiwan, melengkapi lini skutik kelas Max yang sebelumnya telah ada yaitu X-Max dan T-Max. Penamaan ini mirip seperti yang dilakukan oleh Skutik Suzuki yang menggunakan nama Skywave untuk pasar Asia dan Burgman untuk pasar Amerika. 

Sewaktu namanya masih Majesty S



Secara penampilan dan spesifikasi S-Max 160 akan bersaing ketat dengan Honda PCX 150 yang telah lebih dulu mendominasi pasar skutik mid size global. Jika YIMM pada akhirnya berani membawa S-Max ke Indonesia maka dia akan bersaing dengan Honda PCX 150 yang di impor secara CBU oleh AHM dari Thailand dan SYM Joyride 200 yang diimpor oleh SKN secara SKD dari Vietnam. 



Setelah dilabeli S-Max 160


Skutik yang meski dilabeli angka 160 ini sebenarnya hanya memiliki kubikasi 155cc. Pembulatan cc memang lazim terjadi di kendaraan bermotor khususnya skutik. Seperti halnya yang dilakukan SYM di Joyride yang menggunakan embel-embel angka 200 meski kubikasi skutiknya hanya 170cc. 


Spesifikasi dan detail S-Max



Terdapat sejumlah faktor plus dan minus dari skutik Yamaha yang masuk di level premium ini jika dibandingkan dengan PCX. Kita mulai dari faktor minusnya dulu yaitu ban-nya yang berukuran 13. Oleh Yamaha ban depan dan belakang skutik ini masing-masing diberi ban gambot ukuran 120/70 -13 depan dan 130/70-13 belakang meski terlihat kekar dipastikan akan sulit mencari ban ukuran ini di Indonesia. Faktor lainnya adalah posisi duduk pengendara yang tidak kurang dapat selonjor meski dek terbilang luas begitu pun posisi duduk pembonceng yang tergolong tinggi karena jok yang menganut sistem bertingkat. Ground Clearance S-Max juga terlihat cukup rendah (sekitar 11-12 cm) meski menambah kestabilan karena center gravity relatif dekat dengan tanah di perkirakan akan menemui masalah apabila digunakan di jalanan ibu kota yang memiliki speed bump kelewat tinggi. Lampu depan  S-Max standar tipe H-4 yang menggunakan model single meski dibantu lampu senja kiri kanan tipe LED dari tayangan TVC-nya masih terlihat sedikit kurang terang. Bagasinya yang memiliki kapasitas 32 L juga sedikit disayangkan hanya dapat memuat sebuah helm full face karena termakan oleh ruang untuk mono shock dan posisi jok pengendara yg berbentuk seat-in. Faktor minus lainnya adalah bentuk buritan belakang yang terlihat kosong dan rentan patah karena memiliki lekuk rumah lampu plat nomor yang terlalu menonjol. Tentu saja faktor minus krusial yang tidak ditemukan di S-Max adalah teknologi ISS yang menjadi paten Honda. 


Mending S-Max atau X-Ride? :-) 


Faktor plus S-Max sendiri cukup banyak dibandingkan PCX. Mulai dari dek rata yg lebih luas, ban yang lebih kekar, rem dobel cakram depan belakang, mesin 155cc 4 Valve SOHC yang diklaim hanya mengkonsumsi 1 L per 47km, lampu rem dan lampu senja LED, serta indikator yg lebih lengkap (tacho, volt, clock, oil) serta mode hazard lamp. Sayang indikator bensin masih bertipe analog. Tangki bensin eksternal dengan kapasitas 7,4 L, laci model terbuka, shooping  hook, underseat storage lebih luas (32L vs 25L), dan tentunya jangan dilupakan suspensi belakang model monoshock rebah. S-Max yang tersedia di Taiwan dalam 5 pilihan warna (hitam, putih, merah, biru dan abu) ini ditawarkan dengan harga NTD 91800 atau sekitar 30 juta rupiah (diperkirakan akan diatas atau sama dengan harga jual PCX di Indonesia jika dijual oleh YIMM). 

Foto-foto dan spek teknis dari Jorsindo.com

Friday, March 22, 2013

Fitur PBL bergunakah?

Di tengah gegap gempitanya pasar matik di Indonesia (sebenarnya sudah kurang wong pemainnya mungkin tidak sampai habis sepuluh jari....) produsen seolah-olah berlomba memanjakan konsumen dengan fitur berlimpah. Mulai dari SSS (Side Stand Switch) untuk mencegah matik nyelonong kalau standar samping lupa dinaikkan, sampai ke gede-gede-an bagasi di bawah jok yang biasanya diukur dalam volume liter. Ada satu fitur yang akhir-akhir ini juga jadi bahan gaco-an 2 pemain besar matik yaitu fitur PBL (Parking Brake Lock), konon fitur ini berguna sebagai pengaman agar matik gak nyelonong kala di parkir di tempat tidak rata. Sebab matik yang menganut sistem CVT tidak bisa diaktifkan gear-nya untuk mengunci penggerak seperti pada motor sports.

Begitu hebatnya fitur PBL ini digadang-gadang sehingga kala satu pabrikan pada akhirnya mengikuti pabrikan lain untuk mengadopsi fitur PBL, langsung di cap plagiat. Sementara pabrikan yang mengekor tak mau kalah berkelit bahwa fitur PBL-nya lebih smart. :-D Tapi jujur tolong di jawab memangnya seberapa sering sih kita parkir di tempat tidak rata? Penulis sendiri jarang menemukan parkiran motor yang tidak rata. Malah selama menggunakan motor hanya sekitar 2 kali penulis harus parkir di tempat yang tidak rata, dan kebetulan keduanya parkiran di bank. Heran ya kok bank-bank itu pelit sekali menyediakan parkiran motor yang enak untuk nasabahnya, tapi itu mah urusan lain lah. Balik ke pertanyaan tadi seberapa penting sebenarnya fitur ini?

Skywave/Hayate sebagai matik pertama yang penulis miliki, tidak ada fitur PBL-nya. Padahal dalam hal dimensi matic di Indonesia, Skywave/Hayate termasuk matik yang cukup bongsor dan berat. Sehingga harusnya kalau alasan keamanan jadi hal utama, fitur PBL lebih sesuai diadopsi di skywave/hayate ketimbang matik lain yang bobotnya lebih ringan dan kompak ukurannya. Suzuki sebagai produsen bukannya tidak punya fitur ini, karena pada maxiscooternya Skywave/Burgman 250cc ke atas fitur ini tersedia. Biasanya jika penulis harus parkir di tempat yang agak miring menggunakan skywave, penulis akan menggunakan standar tengah. Malahan standar samping sebenarnya jarang sekali penulis gunakan. Bukan apa-apa selain menyebabkan mesin tidak mau di start dalam pengalaman penulis parkir menggunakan standar samping selain lebih boros tempat juga bahaya karena rawan tersenggol dan rubuh.

Pada matik baru penulis PCX 150 fitur PBL juga tidak ada. Padahal PCX termasuk kasta tertinggi matik di Indonesia (belinya harus pake inden yang lama dan marah-marah dulu lho....) dan bodynya jelas bongsor. Uniknya fitur PBL ada pada PCX yang dijual di USA. Sebab berbeda dengan PCX yang dijual secara global di the rest of the world, PCX USA edition tidak punya fitur ISS. Maka sebagai gantinya dikompensasi dengan fitur PBL. Cuma penulis liat bukannya gembira para pemilik PCX USA edition malah tidak ceria. Begini komentar mereka di salah satu forum pemilik PCX:

"speaking of parking, does anyone use the "parking knobby thing?" Keep forgetting it's there"

" I'm perfectly happy to give that up for the idle stop feature plus indicators inside the fairings not sticking out on little stalks lol"

"I use it all the time, it is a parking brake. Pull the left brake hard, keep it held down, pull the knob out until it clicks, let go of the lever. Brake is engaged. To disengage, pull the left brake hard, click the middle button on the knob while pushing until the knob pops back down. Pump the brakes, you should hear a twang, and your brakes will release."

" Had a heck of a time getting it released yesterday on mine, you really have squeeze that left break if you set it tight. "

"The first time I rode, I couldn't get it off after stopping for gas. I had to loosen the rear brake drum with a wrench to get it loose enough for me to squeeze it loose!"

Ini fitur PBL pada PCX USA Edition yang di maksud:





Keliatannya kalau lihat komentarnya, selain banyak yang tidak tahu cara pakainya, proses me-lock dan unlock-nya yang ngerepotin bikin jadi bete. Padahal fitur ini mirip seperti yang dipakai di Honda Wave AT. Jadi handle rem mesti di tarik juga sekalian menarik knob, untuk unlock juga seperti itu hanya knob-nya diputar dan ditekan. :-D Di Indonesia sendiri beberapa pemilik PCX memilih mengadopsi PBL dari Vario atau Beat di PCX-nya. Jadi seberapa penting sih PBL? Bener diadopsi buat fitur keamanan atau sekadar pengen keliatan canggih ya?

Lucunya kalau penulis melihat console dalam PCX USA Edition ini penulis bukan kepengen PBL-nya tapi malah kepengen console-nya. Lubang ex PBL bisa dipasangi Shopping Hook alias cantelan belanja yang pas. Sementara lubang tempat sein bisa tetap dipasangi sein atau malah untuk slider protector supaya body motor gak hancur kalau rubuh. :-)




Thursday, March 21, 2013

Honda Vario ISS = PCX?




Setelah ditunggu-tunggu akhirnya AHM meluncurkan varian Vario 125 ISS-nya rabu kemarin. Matik yang sudah lebih dulu diluncurkan di Thailand dengan nama Click 125i Idling Stop ini, sontak digadang-gadang oleh sebagian blogger sebagai PCX versi pahe. Tapi benarkah Vario ISS adalah versi pahenya PCX? Sepintas kalau dilihat memang sebagian fitur PCX ada di Vario baru ini. Mulai dari rem-nya yang sudah CBS (walaupun masih model kabel bukan minyak seperti PCX), staternya yang ACG sehingga waktu start sudah kehilangan fitur khasnya yang berbunyi 'bletak', sampai ke Idle Stop System (ISS) yang mematikan mesin apabila idle kurang lebih 3 detik saat motor telah dijalankan. Mesin Vario yang sama-sama mengadopsi desain Enhanced Smart Power (ESP) memang menambah kemiripan karena hampir 80%-nya sama dengan yang dipakai PCX 150.

Tanpa bermaksud mengecewakan pengguna vario rasanya kemiripan Vario dengan PCX berhenti sampai disana. Dari mulai desain body, storage, dashboard, ergonomi, suspensi dan kualitas keseluruhan tentulah beda dengan PCX yang merupakan produk global Honda dan dijual seantero dunia. Jika pemilik Vario ingin mencari kemiripan dengan matik Honda lainnya rasanya lebih tepat kalau Vario dibandingnkan dengan Honda SH. Honda SH yang tersedia versi 125 dan 150 dan ironisnya diluncurkan di Vietnam jauh lebih mirip Vario daripada PCX apabila dibandingkan. Mulai dari desain deknya yang rata, tangki bensin di bawah seat, sampai fitur ISS yang sekarang juga ikut dipakai.



Perbedaannya ada di shock belakang yang stereo dan lingkar ban yang 16. Sementara Vario masih menganut shock belakang mono pinggir dan lingkar ban 14. 

Mestinya kalau mau mencari PCX versi pahe bisa diarahkan ke Honda Airblade yang secara desain lebih punya kemiripan dengan PCX karena sama-sama mempunyai tangki eksternal, dual shock, dan bertulang tengah. Sayang AHM tidak  belum ada rencana memasukan Airblade ke Indonesia.


Wednesday, March 20, 2013

You can't buy happiness but you can buy PCX and that's pretty close




It's been a while (well actually very long time) since I create any post in my blog. I'm very busy flexing my muscle between study for my post-graduate, lecturing, and many things that I need to do. Now I'm back and hopefully can create more post in my blog as it should be.

Thing is I'm quite happy that finally been able to get a new scooter, a PCX 150. I've been eyeing this scooter since it's first appearance back in 2009. But back then PCX only have 125 cc displacement and I just got my new Skywave for a few month.  Now three years later and with 25cc more I can justify the purchase. I don't want to reviewing the PCX 150 too much, there are hundred or thousand pages that already talk about PCX from it's technicality. I want talk about PCX from the user side, why I choose PCX instead other scooter and why I'm happy with it.

First of all I need second personal transportation. Due to the new rules proposed by the governor to impose vehicle traffic limitation based on odd and even license plate number. Since I don't want to purchase another light compact scooter, I may as well choose 'bigger' scooter such as PCX. Other 'big' scooter that was on my consideration include Joyride by SYM and even LX and Liberty by Piaggio.

Secondly this 'bigger' scooter should fun and comfortable enough to ride and have distinct look. PCX surely fall into that category. Thirdly have rather large under seat storage that can accomodate helmet and few other things nicely. Other criteria including the size that even tough big, the scooter should still easily enough fit the heavy traffic and narrow alley without hassle. Also the scooter must have enough power and consume fuel with good economical ratio. All that criteria can be match by PCX and thus make me quite happy.

There are other cons about PCX (of course there's no such thing as perfect scooter) but the cons either can be handled easily through additional accessories (i.e storage, hook, rear shock, tire, etc) or not bother me at all (i.e clock, flat deck, back support, etc). So when my license plate finally arrive I will ride around with my PCX as much as I could and you will hear more about it from me.