Wednesday, February 7, 2007

Jakarta = Water World

Jakarta banjir lagi! Mungkin bukan hal yang baru bagi kita, malah bagi sebagian orang sudah merupakan tradisi. Berapa kali sih Jakarta mengalami banjir? Seingat saya banjir yang masuk kategori besar-artinya yang skalanya masuk kategori 8-10-sudah terjadi dua kali dalam 20 tahun terakhir ini. Banjir tahun 1996 dan banjir tahun 2002, jelas sekali dalam ingatan saya. Sebab sejak 1996-lah mulai ada kebiasaan motor masuk ke jalan tol. Sekarang bukan cuma motor, bahkan hari Minggu (4/2) kemarin saya malah sempat menikmati jalan Tol Ancol dari Plumpang ke Kemayoran dengan naik sepeda!

Banjir tahun 2007 yang dimulai kamis 1 Februari kemarin memang termasuk banjir skala 8-10 bukan saja karena luas cakupannya yang mengenangi hampir 70% luas DKI, tapi juga karena daerah yang tadinya aman dari banjir jadi kebanjiran. Buat saya yang lahir dan besar di kawasan Jakarta bagian utara, perkara banjir bukan perkara besar karena toh sudah rutin terjadi setiap musim penghujan. Lain halnya dengan warga ibukota di wilayah lain Jakarta yang selama ini merasa daerahnya cukup 'elit', mungkin menghadapi banjir 2007 ini jadi terkaget-kaget, karena tak menyangka rumahnya bakal terendam air.Mungkinkah akhirnya roda keadilan sudah berjalan? Paling tidak bagi kekuatan alam yang bernama air, ia tidak pandang bulu selama tempat tersebut rendah dan tak ada penghalangnya ia akan mengalir masuk tanpa malu-malu.

Sedihnya tentu sebagaimana bencana alam lainnya banjir akan memakan banyak korban baik korban jiwa maupun korban harta.Begitu dahsyatnya banjir kali ini selain sudah memakan korban tewas hingga 35 orang, juga merugikan masyarakat kira-kira 4,1 trilyun. Angka tersebut memang akan membuat kita berpikir-pikir, jika proyek banjir kanal seperti Banjir Kanal Timur hanya memakan biaya hingga hitungan milyaran rupiah kenapa proyek semacam itu tak lekas diselesaikan atau ditambah? Apalagi melihat biayanya tak sampai kisaran trilyunan rupiah. Entah apa alasan pemerintah dibalik kebijakan itu?

Saya sendiri-karena akrabnya dengan banjir-sering penasaran dengan minimnya sarana drainase di jalan-jalan ibukota ini. Apakah standarisasi pembangunan jalan-yang pasti melibatkan ahli teknik sipil-selama ini sudah benar? Dari beberapa contoh daerah lama yang dibangun dengan dasar pemikiran yang saya anggap benar seperti daerah Menteng sebagai contoh, dengan luas jalan dua jalur sekitar 24 meter memiliki drainase yang luas di tengah. Sementara di lain tempat drainase serupa nyaris tak ada. Malahan di beberapa tempat dengan jalan yang lebarnya hampir 20 meter hanya memiliki drainase sekitar 2-3 meter saja. Kira-kira jika hujan kemana limpahan air akan dibuang?

Memang di Boulevard lama di Kelapa Gading dan Sunter yang masih memiliki sistem drainase serupa, daerah tersebut tak luput dari tergenang air setinggi 1-2 meter.Tapi kok alih-alih berusaha memperbaiki standar drainase dan ketentuan daerah resapan sepertinya pemerintah DKI malah kehabisan akal dan bersikap pasrah saja. Malahan beberapa pejabatnya melihat fenomena banjir sebagai faktor alam yang tak bisa dikelola.

Saya menggunakan kata dikelola karena di Belanda-yang meninggalkan sejumlah desain pengendali air di Jakarta-mampu mengelola masalah air negaranya, yang nota bene terletak lebih rendah dari laut. Cara Belanda mengelola kekuatan alam seperti banjir dan air pasang sudah sering dibahas di Discovery Channel yaitu dengan membentengi kawasan yang rendah dengan dam untuk mencegah limpahan air pasang. Sementara untuk mengatasi air banjir dipakai sistem pememompaan kelebihan air dari daratan untuk dibuang di laut yang ada di balik dinding dam. Bahkan untuk pengetesan sistemnya Belanda membuat beberapa skenario banjir dalam bentuk simulasi.

Jika sistem tersebut dirasa terlalu rumit pun ada cara yang lebih mudah dengan biaya yang mungkin lebih besar yaitu meluaskan ibu kota ini. Jika persoalannya adalah kepadatan penduduk yang menyebabkan daerah kosong sebagai resapan berkurang sehingga Jakarta jadi mirip bentuk Jambangan. Mengapa tidak merelokasi sebagian pemukiman atau daerah yang menjadi tudingan penyebab banjir? Wacana seperti pemindahan ibu kota ke Jonggol bisa di mulai. Dengan memanfaatkan planologi yang ketat dan konsekuen daerah yang relatif kosong seperti Jonggol bisa direncanakan dengan baik dan tertata. Gunakan sistem grid, manfaatkan topologi tanah dan koefisien bangunan dan daerah resapan. Buat infrastruktur jalan dan drainase yang sesuai dengan kepadatan penduduk dan mobilisasinya, termasuk sistem angkutan massal. Pindahkan penduduk dari daerah di kota lama yang akan dijadikan daerah resapan air. Perbaiki ekologi kota lama dengan menormalisasi sungai dan saluran serta daerah resapan. Perbanyak taman dan daerah terbuka serta sanitasi lingkungan...

Sementara menunggu pemerintah berpikir ke arah sana, saya terus berharap semoga tak ada hujan deras lagi sehingga rumah saya tidak ikut-ikutan banjir.