Thursday, December 27, 2007

Tetangga!!!

Mengapa saya membuat judul blog hari ini dengan judul tetangga !!!, plus tanda seru sampai tiga kali? Karena selama hidup jarang sekali saya punya tetangga yang pengertian. Malah setahu saya mungkin belum pernah. Ketika saya kecil dan besar di sebuah perkampungan agak kumuh di utara Jakarta, tetangga kanan saya seorang pengontrak, pernah di damprat Bapak saya karena menyetel tape lagu dangdut keras-keras. Sebenarnya kita tidak ambil pusing dengan hobinya menyetel lagu dangdut, tapi karena di setel pas kebetulan sedang ada orang bertamu ke rumah karuan saja pembicaraan harus dilakukan dengan setengah teriak untuk mengatasi suara lagu dangdut yang membahana. Akhirnya ketika tamu pulang dengan kesal Bapak saya pergi ke sebelah dan memarahi sang pengontrak yang sontak sejak saat itu tidak lagi menyetel tape keras-keras.

Ketika kami terpaksa pindah (karena banjir yang makin parah) dari perkampungan ke sebuah perumahan, tadinya kami berharap kehidupan bertetangga bakal lebih baik. Maklum mereka yang mampu membeli di perumahan biasanya sudah lumayan terdidik. Awalnya sih demikian untuk beberapa saat, sampai tetangga depan rumah mulai cari masalah dengan parkir mobil sembarangan. Memang setiap rumah sudah dilengkapi carport sendiri-sendiri tetapi tetangga depan rumah, termasuk jenis yang malas parkir dengan rapi di carport. Tadinya kita duga karena mobilitasnya yang tinggi, ternyata tidak mobilnya yang besar dan menutup separuh jalan bisa parkir di depan rumah selama berjam-jam dan baru parkir dengan manis di carport setelah jam 9 malam. Waduh terpaksa setiap mau keluar masuk panggil-panggil tetangga dulu, mending kalau langsung keluar, rumah tetangga yang biasanya ramai giliran diminta pindah mobil mendadak sunyi senyap seolah tanpa penghuni. Suatu hari karena sebalnya setelah didera macet dari kantor, Bapak saya nekat parkir di sebelah mobil tetangga persis. Walhasil jalan di depan rumah jadi riuh karena klakson mobil lain yang mau lewat. Sambil mengamati dari dalam dan setelah 15 menit baru tetangga depan tergopoh-gopoh keluar untuk memindahkan mobil.

Sekarang saya sudah hidup berumah tangga tetapi persoalan tetangga yang jauh dari Tepa Selira di Jabotabek masih saja terjadi, malah kelihatannya makin parah. Kebetulan setahun pertama saya nebeng di rumah mertua di sebuah perumahan yang cukup elit. Seperti biasa awalnya lingkungannya cukup enak, dijaga 24 jam, dekat fasilitas umum, tetangga yang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, tapi seiring waktu problem tetangga kembali mendera. Kebetulan rumah mertua letaknya di ujung blok (hampir tusuk sate) sehingga persis di depan rumah terletak jalan penghubung dengan blok lain. Jalan yang harusnya strategis ini ternyata jarang sekali bisa dinikmati karena seluruh tetangga yang tinggal di dekat situ dan memiliki mobil lebih dari satu, selalu menjadikan bahu jalan sebagai car park publik yang nyaman. Satu tetangga bahkan meninggalkan mobilnya demikian lama disitu sehingga merupakan suatu keajaiban apabila kita pernah melihat mobil itu jalan. Jangan bayangkan mobilnya adalah mobil kuno rombengan macam besi tua, mobilnya adalah mobil tahun 2000-an dan masih laik jalan pula. Dengan kondisi satu rumah yang kadang-kadang minimal punya dua mobil, maka bukan kejadian aneh kalau untuk masuk atau keluar dari rumah Mertua kadang sedikit susah. Suatu saat ketika saya bisa pulang agak siang dari kantor, sambil berharap senang karena bisa punya waktu nonton film di bioskop bersama istri . Alangkah terkejutnya saya ketika mau memasuki halaman rumah di luar pintu pagar sudah parkir dengan manisnya sebuah SUV besar lengkap dengan supirnya menghalangi jalan keluar-masuk rumah. Rupanya itu pekerjaan supir antar-jemput murid-murid tetangga yang buka les-lesan di rumah.

Setelah nebeng untuk sementara saya menempati rumah milik keluarga di bilangan Senen. Letaknya yang di gang sebuah perkampungan cukup membawa saya ke nostalgia waktu kecil. Mulai tetangga yang suka teriak-teriak (baik dalam keadaan marah, senang, maupun normal), motor sampai ke odong-odong dan topeng monyet yang bisa berhenti persis di depan pintu pagar rumah. Hingga ke pesta hajatan ala kampung lengkap dengan organ tunggal dan nyawernya. Untuk pertama kalinya saya bisa melihat (benar-benar melihat) rambatan suara di udara yang diakibatkan oleh hentakan speaker sewaan tetangga yang ditaruh pas di luar pagar rumah.

Dengan sejarah bertetangga yang lumayan buruk seperti ini, tak heran kalau saya dan istri benar-benar memilih lokasi, lingkungan rumah baru kami ini. Tak tanggung-tanggung kami pindah ke ujung Selatan di Depok sana. Setelah membangun selama hapir setahun, hutang sana-sini dan menguras kocek serta tabungan berdua, rencananya dalam waktu dekat kami mau pindah. Sambil melakukan finishing membereskan kesalahan dan kerusakan yang diakibatkan tukang yang asal-asalan, hari ini saya memasang pompa air. Ditemani rekan kantor yang tenaga dan pengetahuannya kebetulan bisa dimanfaatkan mulailah kami memasang pompa dan pipa tiba-tiba kami dikejutkan oleh dentuman di bagian atas rumah. Kebetulan di atas kamar dan sebagian belakang rumah sengaja sudah kami cor, selain untuk persiapan meningkat juga mencegah bocor. Tiba-tiba dengan santainya muncul dua orang tukang suruhan tetangga sebelah rumah yang menyeret tangga kayu diatas rumah, tanpa ba-bi-bu langsung melakukan pekerjaan menambal atap tetangga melalui tangga yang di dirikan di atas atap rumahku. Akhirnya dengan marah terpaksa deh saya keluarkan kata-kata kasar yang jarang saya keluarkan, itu pun cuma setengah mempan. Terpaksa mulai besok saya berencana menggelar kawat berduri mengelilingi atap rumah. Biar saja rumah saya jadi terlihat seperti Fort Knox, yang penting tidak ada lagi tetangga kurang ajar yang injak-injak atap tanpa permisi. Kapan ya punya tetangga yang bisa punya perasaan?

Monday, October 8, 2007

Announcement

Starting from today the amboroslog will be splitted into several log depend on the topics.
So the topic will be cross post between amboroslog and the special topic log. Also the old post will also will be post again in special topic log.

Owner

Sunday, September 16, 2007

Akhir Tak Pintar dari Sebuah Printer.

Tanpa diduga tanpa dikira printer kebanggaan yang cuma satu-satunya kepunyaan saya ngadat. Brengsek, maki saya dalam hati. Tidak ada waktu yang lebih pas lagi dari sekarang – saat keuangan sedang ketat- ya kok bisa-bisanya tiba-tiba printer saya jadi rusak. Semua barang memang ada saatnya akan jadi rusak tapi setidaknya untuk printer berharga hampir 3 juta, saya berharap umurnya lebih dari 3 tahun.

Printer saya, Canon i6100 memang belum benar-benar rusak sama sekali, dia masih bisa mencetak, cuma hasil cetakannya jauh dari sempurna. Setiap kali dicetak akan muncul semacam gap diantara jalur cetakan yang mestinya mulus. Parahnya gapnya bakal muncul semakin parah semakin sering kita mencetak. Buat desainer grafis seperti saya ini masalah besar, sebab printer jadi salah satu alat pendukung pekerjaan. Tidaklah mungkin saya membawa hasil cetakan dengan gap disana-sini sebagai presentasi buat klien.

Diagnosa awal saya gap pada hasil cetakan adalah akibat kerusakan pada head printer. Laiknya printer inkjet dengan head permanen biasanya seiring waktu headnya akan rusak. Umumnya kerusakan itu diakibatkan tinta yang mengering karena lama tidak digunakan atau tanki tinta kosong. Dan akibat suhu udara di Indonesia yang cukup tinggi penyakit tinta mengering yang mengakibatkan saluran tinta pada head kering agak sering ditemui. Lucunya tak ada satu pun produsen printer yang mencoba mengatasi ini, kecuali dengan saran untuk sering-sering mencetak. Yah seandainya harga satu ml tinta original tidak nyaris menyamai satu ml coco channel no 5!

Biasanya kerusakan pada head hanya bisa diatasi dengan pembelian head baru. Memang kalau belum terlalu parah ada saran untuk merendamnya di air hangat atau mengusapnya dengan amonia atau alkohol. Ya anda tidak salah baca amonia! Zat kimia berbau luar biasa itu sebenarnya jadi salah satu senyawa pembuat tinta tidak mengering. Anda bisa membuktikan ini jika tak lama setelah membasahi tangan dengan tinta printer mendekatkannya pada lubang hidung, aroma mirip-mirip hawa WC akan samar-samar tercium dari ujung jari. Jadi walaupun bau, amonia dapat menjadi penolong mujarab, sehingga kalau head printer inkjet anda mengering dan mekanisme pembersih tak lagi mumpuni anda bisa mencobanya.

Sayangnya tidak semua masalah ampuh dengan cara tersebut, begitu pula masalah pada i6100 saya. Sebab saya tidak yakin kerusakan kali ini hanya akibat tinta mengering. Selain karena saya selalu menggunakan tinta original, saya pun selalu mencetak setidaknya seminggu sekali. Lalu saya mencoba melakukan penggantian tinta dan melakukan head alignment. O..o..apa yang terjadi tes head alignment tak berhasil dengan tuntas, pada printer monitor muncul kode kerusakan 5100. Setelah 2-3 kali mencoba saya mulai khawatir kerusakan tampaknya lebih parah dari yang saya duga. Keesokan harinya sebelum menjatuhkan vonis akhir kerusakan, saya berhasil meminjam sebuah head printer setipe. Jika benar head yang rusak maka dengan trik diagnostik seperti ini kerusakan seharusnya dapat dengan mudah diketahui. Ternyata tidak error 5100 tetap muncul setiap kali head alignment dijalankan.

Penasaran saya mencoba mencari tahu apakah gerangan error 5100 ini? Pencarian saya di Internet tidak membuahkan hasil, kecuali bahwa error 5100 merupakan kode error yang umum muncul pada semua produk printer canon. Susahnya untuk tahu tepatnya kita harus memiliki service manual book-yang aslinya hanya diperuntukkan bagi teknisi-ada sih yang punya tapi tidak gratis saya harus membayar $9 lewat paypal untuk mendapatkannya.

Samar-samar dari berbagai forum di Internet, umumnya error 5100 berkaitan dengan kerusakan mekanis atau overheat. Kerusakan mekanis, apa itu? Untuk meredakan penasaran dan berbekal pengetahuan bongkar pasang printer-peringatan untuk DIYers diluar sana, membongkar printer tidak mudah! Printer anda sebagian besar terdiri dari plastik dan per yang mudah pecah dan mental kemana-mana. Kalau anda orang yang mudah gugup dan tidak sabar lebih baik tidak membongkar printer anda sendiri dan berikan pada yang lebih berpengalaman!-akhirnya saya beranikan membongkarnya. Berdasar pengalaman sebelumnya membongkar Stylus 400, kali ini saya lakukan semuanya dengan pelan-pelan dan hati-hati. Pembongkaran sukses saya lakukan. Namun apa yang saya temui tetaplah misteri, selain sisa semprotan tinta yang merembes kemana-mana di dalam printer-heran juga, kok tinta asli bisa nyiprat kemana-mana?- Juga ada ceceran elektrik grease yang mbleber di batang penahan keranjang head.

Mungkinkah kurangnya elektrik grease menyebabkan keranjang head aus sehingga tidak align lagi? Ataukah cipratan tinta yang menyebabkan salah satu sirkuit menjadi overheat? Tanpa skema dan service manual book sialan itu, percobaan diagnostik ini sungguh sia-sia. Kesimpulan saya akhirnya adalah, kerusakan mungkin terjadi akibat cipratan tinta yang berlebihan dan menyebabkan salah satu perangkat korslet atau menjadi panas. Headnya sendiri ketika saya ukur sensornya –melalui manual print reset-menunjukkan panas yang cukup berlebih. Apapun hasilnya perbaikan kelihatannya tak sesederhana mengganti head printernya, sebab ketika di cobakan di printer lain, head lama masih mampu bekerja dengan baik.

Saya tidak berminat memeriksakan printer ini pada bagian service ataupun mencoba mengganti perangkat yang rusak. Jika printer ini rusak dan memerlukan service tindakan terbijak hanyalah menjualnya sebagai suku cadang untuk kanibal atau menunggu hingga ada program trade-in. Ukurannya yang besar dan kebijakan bagian service produk perangkat elektronik di Indonesia –terutama printer-biasanya tidak menguntungkan konsumen. Jadi yang terbaik yang bisa saya lakukan sementara ini tetap menggunakannya bukan sebagai alat kerja utama lagi dan bersiap untuk membeli printer baru. Sialnya karena pembelian yang saya lakukan berbentuk cicilan tetap, cicilannya sendiri baru akan selesai pertengahan tahun depan sementara barangnya sudah tidak maksimal lagi. Ngomong-ngomong...er ini printer inkjet saya yang ke empat sejak tahun 1996. Kira-kira printer baru seperti apa yang harus saya beli?


Sunday, September 9, 2007

The Rail Shooter Game they should make for Wii !

I'm always fond of Rail Shooter genre, that's way my preference of console systems always based on which console offer the most attractive Rail Shooter title. It wasn't easy to do since most Rail Shooter ported from arcade machine (which only bunch of developer still develop it by the way) and it usually must wait till the arcade version at least in their ‘peak popularity’ before the developer decide to port it to consoles. Some developers also make it more difficult by publish some title as exclusively made for one console system only. And our job as an avid fans of the genre got more complicated by the requirement of some title to only use proprietary light gun peripheral in order to playing the game.

But thanks to some innovation from Nintendo who create wii, through its brilliant choice of utilizing remote (that can be modified into a zapper), the rail shooter genre find its ultimate systems. This way any title created by any developer didn't have to use their awkward peripheral and thus save us the player from the obligation to buy that peripheral in order to play the game. Instead when rail shooter are made for wii, it can directly use wiimote which proven already useful in some First Person Shooter (FPS) genre. In fact on my opinion wii become the most successful console that provide comfort environment to play FPS. Regardless some people noted that FPS always synonyms with latest graphic detail technology which as we know it not wii’s most polished factor. Whilst wii may be not the most powerful console out there, the ‘outdated’ in graphic technology and media could become wii’s beneficial factor. That means developing or porting a game for wii it’s not as hard or as costly (at least in theory) as other consoles.

The appearance of two exclusive titles (for now) for wii, in Rail Shooter category at least shows that wii is really a perfect place for it. SEGA who owns quite a bunch of Rail Shooter title didn’t even want to miss the opportunity to test the wii by porting its Ghost Squad from arcade to wii. Capcom that has a long record providing good title for Nintendo previous system also went for it. After their immediate success with Resident Evil: 4 wii edition that note by fans as best version of RE:4 so far, show the hidden power of wiimote as FPS controller must realize how good it is to use wiimote as a light gun on Rail Shooter. That’s way they test it with their franchise in Resident Evil by providing Umbrella Chronicle. A Converted from free roaming of RE type, into House of the Dead type Rail Shooter. Blast zombies in order to move forward.

Even by only these two titles, I begin excited and hope other developer would be convinced to make more title of Rail Shooter for wii. So in a light of the day while waiting for Ghost Squad and Umbrella Chronicle release, I list ten game in rail shooter genre who could see their life again in wii.

Time Crisis

If there is only one rail shooter title who can makes me purchase a console its Time Crisis. While I a bit bored by their lack of new innovation other than new story and enemy, its still I would say the best Rail Shooter ever created. The ability to hide (by ducking) through foot pedal, combined with limited time to finish the level and the requirement to reload, probably the sheer moment one can not forget while playing time crisis. To bad all this time Namco only release it for Playstation, some people also complain about their too cartoons over bright colors scheme.

Nevertheless there are thousand fans out there who know merely could only afford a wii expecting Time Crisis to be ported or have newly developed for. There’s rumour circling around the net about Namco plan for porting Time Crisis to wii, but up until now sadly there are no official announcement made by Namco. We just hope Ghost Squad or Umbrella Chronicle will be so successful so Namco didn’t have no excuses not to jump to the wagon.

Virtua Cop

While Virtua Cop is not the first Rail Shooter game in the world, its appearance in video games breathes a new life of Rail Shooter in 3D. Trough innovation like breakable window and tear-off some of properties part, sure light’s the arcade, console and even PC. Like Time Crisis the title also lack of new innovation other than new feature called bullet time that let’s you block enemies bullet with your bullet in shootout. If I may added the looks and feel of cities and warehouse that mostly is a part of Virtua Cop surrounding area could be enhanced a little bit by incorporating real architectural likeness. Produce by talented AM2 Studios for SEGA, Virtua Cop still waits to life again in next console. If Ghost Squad gets succeeded on wii, I will not surprise if SEGA try to pull this one also.

House of the Dead

Along with Virtua Cop SEGA also held the winning title on Rail Shooter genre and that would be House of The Dead. Who doesn’t want blast through a horde of zombie in dark mansion with blazing gun? While not as horrid as Resident Evil, House of The Dead it’s the only game that could provide a full feeling of shooting the living dead. Through it’s simplistic pull the trigger, it’s by far more intuitive than RE’s complex controlling system before the RE:4 Wii edition. I’ve seen that the title try to appear on different consoles (DC and then xbox) only to shows that without gun peripheral its only half fun. Let’s hope this title would also see the day on wii, after all if SEGA really near bankruptcy they should at least try the console where their title could really shines.

Silent Scope

When I first play Silent Scope, I play it in Playstation version and found the difficulties and feel sorry for developer choice to use stick control rather than to use ‘light gun’ peripheral. Even when I try unofficially supported Logitech usb mouse, I still find it’s difficult to nail a target, especially on timed mission. I never thought there would be any console great enough for Silent Scope Series until wii show the developer their powerful controller that fit Rail Shooter genre. It even better if wii zapper, can utilizing a real detachable add-on scope, to add the experience of sniper (since I already witnessing a laser pointer equipped zapper on market). We don’t see konami plan for porting silent scope to wii yet, but we also can cross our finger for it.

Operation Wolf

Why an old 2-D Rail Shooter sit on the list? Well while Operation Wolf seems did not fit the list, for pioneering reason it will be nice if we can see some old title come to live again. Operation Wolf is among the first batch of Rail Shooter who reach arcade and also the first title that being convert into many platforms. Besides why Taito only preserve Bust A Move (which happen also being convert into many platforms) while at the same time also have potential treasure in their library?

Sin & Punishment

I never even knew the title which apparently only release on Japan N64 system until I stumble on it on the net. There’s not much about it I can tell but sure it’s exclusively made for Nintendo and it falls on Rail Shooter genre. Judging from the wikipedia info I see that the game play is more like Cabal game play and also from third person view. The great things are so many people wait for it and Nintendo already list it in Virtual Console for Japan.

Star Fox

Star Fox is one of exclusive title for Nintendo and still sees the day until now. One of the type on Rail Shooter genre that doesn’t use a gun but a space ship. Judging by its popularity and it’s appearance in many of Nintendo successor system, I’m quite sure well see it one in wii very soon. Some info also noted that Wario Ware include at least few part of Star Fox on one of its level. They even suggesting, that it’s probably a system test to see how to utilizing wii’s feature (especially in graphic power) before the release of complete version.

Hogans Alley

In its time Hogans Alley never consider as a demo tech like wii sports or wii play now, but honestly it is. Since back then if you own Nintendo light gun, there’s not much a title to play with beside duck hunt. Hogan Alley puts you in some sort police shooting range and you shoot cartoon like target board who resemblance good and bad guys. Fast reaction and accuracy is the one that could saves you through repetitive level. It is very unlikely we see it as a stand alone title, but as wii a part of zipper purchase and if Nintendo sees the shooting practice in wii play not enough to show people about the seriousness of wii as Rail Shooter platform perhaps once again we will see Hogans Alley.

Lethal Enforcer

It may be showed as controversial title on its time as an example of violence correlation with video games. Just see their choice of colour for their guns controller (in shocking plastic red, blue and green) you’ll get the idea why parents and government so paranoid about video games-violence things. Despite its controversy Lethal Enforcer also provides ‘more life like’ shootout you’ve seen in Clint Eastwood Dirty Harry movie. Perhaps as the research show that video games are part of stress relief and did not connected directly with violence, developer would create a more life like rail shooter game like these one, of course in order to do that Nintendo policy should be changed from casual family type gamer into hard core gamer.

Wild Guns

What more could be the best settings for rail shooter other than showdown on Wild West era? No rail shooter developers ever use Wild West as their game story anymore, nor FPS developer, its also rarely being used on movie nowadays. It’s a shame tough how could developer waste such a perfect atmosphere to build around Rail Shooter? So while we wait developer of rail shooter get their ‘epiphany’ it best to remind us all that even Nintendo once have Rail Shooter title based on Wild West settings on Wild Guns. It would be nice if they revived it again once more.

Tuesday, August 28, 2007

Mii Nintendo Wii

Akhirnya dengan segenap keberanian diri saya membeli Nintendo Wii. Dari pengalaman membeli console, ini adalah console termahal yang pernah saya beli. Bayangkan dengan harga resmi US$250 untuk versi US, di Jakarta wii harus ditebus dengan harga Rp 3,6 juta. Dengan kurs US$1 = Rp 9100 berarti wii di Jakarta berselisih Rp 1,325 jt. Walah untungnya banyak sekali, benarkah demikian? Oke kita tambahkan komponen-komponen biaya lain seperti biaya bea masuk yang konon sekitar US$ 50. Berarti tinggal Rp 870 ribu, dikurangi biaya modchip dan pemasangannya sekitar US$ 40. Sisanya tinggal Rp 506 ribu. Saya tak tahu berapa biaya pengapalan dari China (pabrik perakitan wii) dan taktik pengalihan logistik mungkin sekitar US$ 25 tinggal sekitar Rp 278,500.

Untung besar? Mungkin saja apalagi pada saat saya membeli ada 2 unit wii lainnya yang laku terjual, berarti hari itu si pedagang memperoleh keuntungan Rp 835,500. Tapi mengingat sulitnya memperoleh wii, bahkan di Jepang wii US di tawarkan seharga US$500 (wii Jepang sendiri berharga US$205 tanpa diberi wii sports), serta pengumuman dari George Harison (Nintendo USA) bahwa Nintendo tidak dapat memastikan supply wii bahkan untuk musim libur natal kali ini (yang di AS akan berlangsung sekitar 4 bulan lagi). Memiliki wii adalah satu 'keberuntungan'. Bayangkan pada saat libur sekolah kemarin bahkan harganya sempat naik sebesar Rp 200 ribu, dan tidak semua toko di Mangga Dua ketika saya survei memiliki stok wii. Beberapa toko video games yang memiliki outlet di mal bahkan menghargai wii US sebesar Rp 4 juta lebih. Lagi pula dibanding harus membeli wii langsung di singapore atau bahkan Hong Kong tentu lebih ekonomis apabila di beli di Jakarta.

Memang dibanding console seperti Playstasion 3 nasib wii lebih baik, disamping harganya lebih murah (saat ini harga playsation masih sekitar Rp 4-6 juta), wii bahkan diestimasi penjualannya tinggal berjarak 1 juta unit lagi dari penjualan xbox 360 yang sudah memimpin perang console karena diluncurkan lebih dulu. Untuk saya ada dua alasan kuat pembelian wii yaitu:

Mampu memberi pengalaman 'game play' yang berbeda dengan console lainnya yang cenderung biasa saja.

Wii sudah mampu dimodifikasi untuk memainkan game ehem...'kopian'.

Dua alasan inilah yang melatar belakangi kenekatan saya membeli wii, meski untuk itu mesti mengalihkan sejumlah anggaran dan mengurangi pengeluaran lainnya. Selain juga karena sudah terbawa mimpi. Sebenarnya ini pengalaman pertama saya membeli console dari nintendo, dua pengalaman sebelumnya selalu dengan produk Sony. Baik Sony Play Station (PSX) maupun Sony Playstation 2 (PS2). Lucunya console pertama saya (yang diberikan oleh famili dekat) merupakan clone Nintendo Entertainment System (NES), produk pertama 'console' nintendo.

Pengalaman soal game play sudah saya ceritakan bagian awalnya di artikel sebelumnya. Sekarang mari kita lebih dekat apakah wii mampu memberikan apa yang saya harapkan?

Wii yang saya miliki saya beli di toko video game dengan harga paling kompetitif di Jakarta. Dengan ditemani seorang rekan karena saya pergi ke sana menggunakan motor, (tahu sendiri kan kondisi parkir mobil di Mangga Dua) saya pergi ke toko yang terletak di bilangan Mangga Dua ITC. Lantai 2 Mangga Dua ITC sepertinya sudah dikenal sebagai sentra penjualan video game di Jakarta. Disana komunitas video game Jakarta sudah memiliki toko langganan yang meski kecil terbilang lengkap yaitu PSE. Meski sebagian besar toko-toko tersebut dikuasai oleh jaringan Sonic, dengan harga yang kompetitif PSE ternyata mampu bersaing dan tetap eksis hingga kini. Console sebelumnya pun saya pun saya beli di sana. Pada saat membeli saya juga membeli kontroler tambahan yaitu satu wiimote dan nunchuck-nya. Paket pembelian wii sendiri menyertakan satu wiimote dan nunchuck di dalamnya.




Walau ukuran wii terbilang kecil dibanding console generasi ke-7 lainnya, ternyata ukuran kemasannya cukup besar. Selain berisi Console wii, wiimote dan nunchuck, di dalamnya juga berisi kabel koneksi Audio-Video, Sensor bar IR, Adapter 110-120v
(karena AS menggunakan listrik 110v), vertical stand, DVD wii sports (hore akhirnya punya game asli lagi), dan buku manual yang sangat baik untuk sebuah produk elektronik masa kini. Mungkin di wii generasi berikutnya jika harga jualnya ingin ditekan, saya duga Nintendo akan mengurangi isi paket wii, misalnya mengganti vertical stand yang lumayan bagus dengan plastik murahan, mengganti buku manual dengan lembaran poster, dan tentu saja meniadakan wii sports yang mampu mengurangi harga sebsar US$ 45 (setara dengan Rp 409,500). Kesimpulannya kelengkapan wii dalam paket standar cukup lumayan.

Melakukan instalasi wii juga terbilang mudah karena konektornya di bedakan dari segi penampang, meski demikian sebenarnya saya lebih menyukai bentuk konektor standar seperti yang ada di perangkat elektronik pada umumnya. Instalasi yang terbilang cukup rumit malah ditemukan pada koneksi adaptor wii dengan adaptor AC (transformator) yang saya beli, karena konektor (prong) di AS sudah menggunakan standar pembeda supaya tidak terbalik memasangnya. Kelihatannya outlet pada adaptor AC yang saya beli kurang baik kualitasnya sehingga agak sulit masuk dan setelah masuk malah agak longgar jadi gampang lepas. Juga proses instalasi wiimote yang sudah menggunakan teknologi bluetooth, mungkin terbilang cukup rumit karena perlu di sinkronkan dengan consolenya. Untungnya baik penjual maupun manual sama-sama menjelaskan dengan baik prosesnya sehingga saya tidak kesulitan melakukannya.

To be Continued....

Wednesday, February 7, 2007

Jakarta = Water World

Jakarta banjir lagi! Mungkin bukan hal yang baru bagi kita, malah bagi sebagian orang sudah merupakan tradisi. Berapa kali sih Jakarta mengalami banjir? Seingat saya banjir yang masuk kategori besar-artinya yang skalanya masuk kategori 8-10-sudah terjadi dua kali dalam 20 tahun terakhir ini. Banjir tahun 1996 dan banjir tahun 2002, jelas sekali dalam ingatan saya. Sebab sejak 1996-lah mulai ada kebiasaan motor masuk ke jalan tol. Sekarang bukan cuma motor, bahkan hari Minggu (4/2) kemarin saya malah sempat menikmati jalan Tol Ancol dari Plumpang ke Kemayoran dengan naik sepeda!

Banjir tahun 2007 yang dimulai kamis 1 Februari kemarin memang termasuk banjir skala 8-10 bukan saja karena luas cakupannya yang mengenangi hampir 70% luas DKI, tapi juga karena daerah yang tadinya aman dari banjir jadi kebanjiran. Buat saya yang lahir dan besar di kawasan Jakarta bagian utara, perkara banjir bukan perkara besar karena toh sudah rutin terjadi setiap musim penghujan. Lain halnya dengan warga ibukota di wilayah lain Jakarta yang selama ini merasa daerahnya cukup 'elit', mungkin menghadapi banjir 2007 ini jadi terkaget-kaget, karena tak menyangka rumahnya bakal terendam air.Mungkinkah akhirnya roda keadilan sudah berjalan? Paling tidak bagi kekuatan alam yang bernama air, ia tidak pandang bulu selama tempat tersebut rendah dan tak ada penghalangnya ia akan mengalir masuk tanpa malu-malu.

Sedihnya tentu sebagaimana bencana alam lainnya banjir akan memakan banyak korban baik korban jiwa maupun korban harta.Begitu dahsyatnya banjir kali ini selain sudah memakan korban tewas hingga 35 orang, juga merugikan masyarakat kira-kira 4,1 trilyun. Angka tersebut memang akan membuat kita berpikir-pikir, jika proyek banjir kanal seperti Banjir Kanal Timur hanya memakan biaya hingga hitungan milyaran rupiah kenapa proyek semacam itu tak lekas diselesaikan atau ditambah? Apalagi melihat biayanya tak sampai kisaran trilyunan rupiah. Entah apa alasan pemerintah dibalik kebijakan itu?

Saya sendiri-karena akrabnya dengan banjir-sering penasaran dengan minimnya sarana drainase di jalan-jalan ibukota ini. Apakah standarisasi pembangunan jalan-yang pasti melibatkan ahli teknik sipil-selama ini sudah benar? Dari beberapa contoh daerah lama yang dibangun dengan dasar pemikiran yang saya anggap benar seperti daerah Menteng sebagai contoh, dengan luas jalan dua jalur sekitar 24 meter memiliki drainase yang luas di tengah. Sementara di lain tempat drainase serupa nyaris tak ada. Malahan di beberapa tempat dengan jalan yang lebarnya hampir 20 meter hanya memiliki drainase sekitar 2-3 meter saja. Kira-kira jika hujan kemana limpahan air akan dibuang?

Memang di Boulevard lama di Kelapa Gading dan Sunter yang masih memiliki sistem drainase serupa, daerah tersebut tak luput dari tergenang air setinggi 1-2 meter.Tapi kok alih-alih berusaha memperbaiki standar drainase dan ketentuan daerah resapan sepertinya pemerintah DKI malah kehabisan akal dan bersikap pasrah saja. Malahan beberapa pejabatnya melihat fenomena banjir sebagai faktor alam yang tak bisa dikelola.

Saya menggunakan kata dikelola karena di Belanda-yang meninggalkan sejumlah desain pengendali air di Jakarta-mampu mengelola masalah air negaranya, yang nota bene terletak lebih rendah dari laut. Cara Belanda mengelola kekuatan alam seperti banjir dan air pasang sudah sering dibahas di Discovery Channel yaitu dengan membentengi kawasan yang rendah dengan dam untuk mencegah limpahan air pasang. Sementara untuk mengatasi air banjir dipakai sistem pememompaan kelebihan air dari daratan untuk dibuang di laut yang ada di balik dinding dam. Bahkan untuk pengetesan sistemnya Belanda membuat beberapa skenario banjir dalam bentuk simulasi.

Jika sistem tersebut dirasa terlalu rumit pun ada cara yang lebih mudah dengan biaya yang mungkin lebih besar yaitu meluaskan ibu kota ini. Jika persoalannya adalah kepadatan penduduk yang menyebabkan daerah kosong sebagai resapan berkurang sehingga Jakarta jadi mirip bentuk Jambangan. Mengapa tidak merelokasi sebagian pemukiman atau daerah yang menjadi tudingan penyebab banjir? Wacana seperti pemindahan ibu kota ke Jonggol bisa di mulai. Dengan memanfaatkan planologi yang ketat dan konsekuen daerah yang relatif kosong seperti Jonggol bisa direncanakan dengan baik dan tertata. Gunakan sistem grid, manfaatkan topologi tanah dan koefisien bangunan dan daerah resapan. Buat infrastruktur jalan dan drainase yang sesuai dengan kepadatan penduduk dan mobilisasinya, termasuk sistem angkutan massal. Pindahkan penduduk dari daerah di kota lama yang akan dijadikan daerah resapan air. Perbaiki ekologi kota lama dengan menormalisasi sungai dan saluran serta daerah resapan. Perbanyak taman dan daerah terbuka serta sanitasi lingkungan...

Sementara menunggu pemerintah berpikir ke arah sana, saya terus berharap semoga tak ada hujan deras lagi sehingga rumah saya tidak ikut-ikutan banjir.

Tuesday, January 2, 2007

Koneksi Internet Kita

Akhirnya koneksi internet ke Amerika dan Eropa sudah dibenahi. Wah repot juga kalau kejadian seperti ini sering-sering terjadi. Bukan apa-apa saya sudah berencana bakal memuat artikel pas 1 Januari 2007, dan rencana itu jadi batal gara-gara gangguan tersebut. Menurut beberapa artikel di media cetak dan internet ini terjadi sebagai akibat tidak adanya backbone internet di Indonesia yang memadai tapi menurut saya sih ini akibat dua hal:

  1. Sebagian besar orang Indonesia masih malas ikut menyumbangkan artikel dan fasilitas yang berguna di Internet, sehingga kita masih lebih banyak merambah artikel dan fasilitas yang dibuat oleh orang luar Indonesia. Sebagai akibatnya ketika koneksi internet ke luar putus, kita yang begitu tergantung dengan artikel dan fasilitas luar jadi tidak bisa melakukan apa-apa di Internet.
  2. Harusnya dari sini APJII dan pemerintah mulai bergerak untuk menyederhanakan dan memperbanyak fasilitas hosting dalam negeri yang murah, efisien dan reliable. Kalau untuk memperoleh domain ac.id yang notabene untuk keperluan pendidikan saja sulit, bagaimana kita tertarik untuk menghosting situs di dalam negeri?


Hanya saja dari kejadian tersebut ada beberapa hal yang saya saluti, salah satunya adalah kesiapan tim reparasi di Taiwan yang kurang dari dua minggu sudah berhasil memperbaiki kerusakan kabel di bawah laut. Selain dukungan teknologi dan biaya yang memadai tentunya bukan hal yang gampang untuk meminta orang pergi ke tengah Laut China Selatan yang mengganas di bulan Desember, di tengah suasana Natal dan Tahun Baru yang menjadi libur Internasional untuk memperbaiki putusnya kabel serat optik. Sekali lagi acungan jempol buat mereka.

Yang kedua hal tersebut tidak sampai menimbulkan kepanikan dan berita simpang siur yang acap terjadi di tanah air manakala terjadi satu peristiwa skala internasional.(millenium bug everyone?). Mungkin karena internet benar-benar masih menjadi kebutuhan nomer sekian di Indonesia? Apapun itu saya senang bisa berinternet lagi dengan lancar.