Monday, August 26, 2013

Sepatu oh Sepatu

Sepatu buat saya adalah kebutuhan sekunder yang jauh lebih penting ketimbang pakaian. Bukan karena saya rela telanjang asalkan masih bersepatu tapi karena kaki saya ukurannya cukup besar buat orang Indonesia. Repotnya buat orang yang ukuran kakinya sudah diatas 42 (Kaki saya 43,5 jadi nomer sepatunya antara 43-44) sering susah mencari sepatu. Kebanyakan sepatu di Indonesia dibuat untuk ukuran maksimal 42, meski seiring perbaikan gizi sekarang mulai ada yang membuat ukuran sampai 45. Selain itu karena saya bersepeda motor maka sepatu yang saya gunakan pun harus punya durability yang tinggi seperti water resist, kalau perlu water proof dan tapak sol yang tidak cepat habis. Jadilah saya harus mencari sepatu impor yang harganya sering mencekik leher. Beberapa waktu pernah saya coba menumpuk stock yaitu punya beberapa pasang sepatu cadangan (yang kebetulan bisa di tebus dengan harga murah). Sialnya ternyata karet sepatu memiliki masa kadaluarsa yang tak bisa ditawar-tawar. Jika sudah sampai masanya terlewati pelan-pelan dia akan momot atau mrotoli jadi serpihan dan lengket. Wah sebalnya bukan main. Belum puas di pakai sudah rusak. Repotnya lagi jika sol-nya bentuknya fancy tukang service juga tidak bisa memperbaikinya.

Seperti saat ini beberapa sepatu saya sudah mulai ada yang solnya aus ataupun karetnya mrotoli. Sepatu Geox touring saya misalnya, setelah umurnya mampu diperpanjang dengan mengganti retslitingnya yang telah rusak akhirnya harus dipensiunkan karena karet solnya sudah terkikis habis. Sepatu yang lain lagi Rockport XCS juga karetnya mrotoli (dan ini bukan Rockport pertama yang karetnya mrotoli). Repotnya tidak banyak pilihan sepatu boot di Jakarta yang water proof, bagus desainnya, enak dipakai dan harganya terjangkau. Ambil contoh Timberland salah satu merk yang saya juga punya boot-nya. Walau enak dipakai dan water proof harganya lumayan tinggi. Bisa sampai 1,7 juta per pasang. Padahal sepatu boot paling mahal yang saya beli cuma berharga 800 ribu itu pun karena diskon 50%. Maka jadilah kini saya mulai kehabisan stock sepatu. Saat ini saya berganti-ganti memakai Rockport Adiprene casual, Hi-Tec Boot (yang full water proof) dan Rockport boots yang masih tersisa. Beberapa yang sudah saya pensiunkan adalah Geox Touring Boot, Rockport XCS Casual, Rockport XCS Boot, Timberland Boot (karena solnya sudah retak). Jadi setiap pergi ke mal sekarang selalu pasang mata dan menghitung isi dompet mana kira-kira sepatu yang bisa dibeli untuk mengganti yang sudah pensiun.

Tuesday, August 20, 2013

Arloji, masihkan menjadi perangkat canggih penunjuk waktu?

Di jaman ini sebenarnya fungsi penunjuk waktu yang melingkar di tangan boleh dibilang sudah digantikan oleh widget pada smartphone. Apalagi di negara yang jam karet sudah jadi budaya dimana-mana. Kalau masih ada orang getol membeli arloji fungsinya mungkin sudah seperti asesoris atau perhiasan. Saya sendiri termasuk orang yang masih senang pakai arloji atau jam tangan. Bukan apa-apa meski di pinggang sudah tersemat dua buah smartphone android, masih lebih cepat melirik ke pergelangan tangan ketimbang mencabut handphone. Apalagi saat berhenti sejenak di perempatan kala berkendara, salahnya motor mahal kok tak dilengkapi jam.

Casio HD


Sebenarnya kebiasaan menggunakan arloji saya selalu angin-anginan. Beberapa kali pakai dan ketika arloji rusak akan ada jeda waktu bagi saya sampai memakai arloji lagi. Maklum arloji yang saya beli biasanya arloji kelas murahan atau malah hadiah. Apalagi kalau rusak saya tak pernah berusaha sekadar mengganti batrenya atau memeriksakannya ke tukang service. Baru belakangan saya mulai serius membeli arloji yang agak tahan lama. Sekitar tahun 2009 kalau tak salah ingat saya membeli Casio HD dari seri standard yang baterenya di klaim tahan 10 tahun. Saya membelinya di Mustafa Singapura. Itu seri paling murah dari Casio berbentuk analog. Fiturnya tak macam-macam hanya ada petunjuk tanggal dan jarum detik. Kondisinya saat ini sudah penuh goresan di permukaannya karena hanya terbuat dari mika dan band-nya sudah berganti band karet resin generic karena fastenernya sudah putus. 
Seiko 5

Pada saat mengganti band tersebut di toko arloji di daerah Pasar Baru akhirnya saya tertarik membeli arloji baru yang lebih layak, karena kadang-kadang saya harus datang ke acara formal. Akhirnya setelah lihat-lihat berbagai koleksi saya memilih Seiko 5 automatic. Mudah-mudahan harganya tidak kelewat mahal karena ini sebenarnya adalah seri tahun lalu yang sudah didiskon lumayan. Arloji ini selain automatic (sehingga tidak butuh batere) juga materialnya terbuat dari metal sehingga lebih tahan banting. Bahkan permukaannya terbuat dari gelas mineral yang tahan gores (bukan anti gores lho). Repotnya karena automatic arloji ini sangat mengandalkan goyangan tangan sehingga kadang sering brehenti sendiri manakala momen goyangan tangannya sudah berhenti. Saat-saat seperti itu kadang agak memalukan karena toh akhirnya saya terpaksa merogoh handphone mencocokan jarum di arloji dengan waktu sebenarnya dan menggoyangnya lagi. 


Ice Watch

Karenanya meski tampilannya keren sehari-harinya saya lebih sering menggunakan Casio HD ketimbang Seiko 5. Akhirnya karena mulai bosan dengan tampilan Casio HD yang mulai kelihatan kumuh, saya tertarik membeli arloji baru lagi. Mula-mula yang saya incar adalah arloji warna-warni yang sedang trend. Sebelumnya saya tidak berani mengincar arloji warna-warni seperti ini karena merknya harus terkenal. Sayangnya merk terkenal identik dengan harga mahal. Tapi setelah saya jalan-jalan ke Mal rupanya harganya tidak semahal yang saya duga (beberapa masih dibawah harga 1 juta).

Swatch Red Rebel

Merk pertama yang saya taksir adalah Ice Watch dari Belgia, meski belum seterkenal merk lain karena baru muncul tahun 2007. Desainnya atraktif malah koleksi tahun 2013-nya (yang kelihatannya belum masuk Indonesia) bekerja sama dengan Pantone. Wuih jam yang cocok banget buat seorang desainer. Tapi setelah melihat tipe yang paling murahnya masih dijual dengan kisaran 800-900-an ribu rupiah saya terpaksa pikir-pikir dulu. Merk lain yang saya taksir adalah Swatch, bahkan di awal 2000-an sudah sempat mau saya pinang kala dikirim kantor ke Singapura. Tapi lagi-lagi pertimbangan keuangan kala itu belum memungkinkan dan saya masih merasa rugi kalau membeli jam plastik. Padahal saat itu saya akhirnya beli jam plastik beneran yang baru beberapa saat cat silvernya sudah luntur. Kali ini saya lihat tidak semua Swatch semahal dulu malah beberapa ada yang lebih murah dibanding Ice Watch. Kapan-kapan mungkin layak saya beli lihat isi kantong deh. Tapi saya sudah siap incar tipe Red Rebel supaya match dengan warna PCX hehehehe.

Casio AW-8X


Nah akhirnya arloji apa yang saya beli untuk menggantikan si Casio HD? Ternyata Casio lagi tepatnya Casio AW-80. Saya pilih yang ada unsur warna merahnya, walaupun materialnya terkesan plastik murahan seperti mainan di pasar tradisional (cukup berbeda dibanding fotonya di internet). Hebatnya meski masuk kelas standard fitur-fiturnya cukup fungsional. Mulai dari water resist sedalam 50m (lumayanlah kuat dibuat hujan-hujanan dan basah-basahan), paduan analog dan digital (saya kurang suka jam yang full digital karena biasanya sulit dilihat kala terik), memiliki iluminator LED (meski bukan fitur baru karena sudah ada dari tahun 80-an, dan biasanya warna LED-nya cenderung norak dan bocor), alarm (gak bakal kepake sering-sering karena saya bukan orang yang butuh selalu tepat waktu bangunnya), telememo (catatan nomer telpon yang mungkin berguna kalau batre handphone habis saat darurat), stopwatch, timer (gak bakal dipake) sisanya sih standard seperti tanggal dan penunjuk detik karena jarumnya hanya terdiri dari panjang dan pendek tidak ada jarum rambut untuk detik. Disayangkan tapi mau bagaimana wong harganya cuma segitu.



Pasar Baru 
Hal menarik yang saya temukan saat mencari jam ini adalah, saat berkeliling kota (well sebenarnya cuma di sekitar Jakarta Pusat) saya sudah coba ke Casio Center di Juanda dimana stock-nya malah tidak ada dan Casio sepertinya lebih mengkedepankan seri G-Shock-nya yang bukan selera saya (karena selain tebal ukurannya juga luar biasa besar dan mahal) sebab wujudnya seperti mecha era 80-an. Ujungnya saya melangkah ke Pasar Baru yang walau dekat rumah tidak terlalu sering saya sambangi. Selain kondisi Pasar Baru sudah cukup berantakan (lagi-lagi karena kawasan ini berulang kali di renovasi tapi berkali-kali selalu jadi kumuh) cukup repot keliling toko di Pasar Baru yang kalau menawarkan harga sering bagai langit dan bumi. Uniknya toko arloji di Pasar Baru senang sekali menawarkan harga dengan embel-embel belum di diskon dan pramuniaganya segera memencet kalkulator seraya berkomat-kamit.....dikurangi diskon 30% maka....voila jadilah harga sebenarnya. Saya rasa taktik saja karena sebenarnya memang harga aslinya segitu. Setelah 2-3 toko barulah saya temukan si merah AW-80 (kalau warna lainnya biru dan kuning ada dan terus terang warna merah memang yang kelihatan paling redup) setelah tawar menawar dengan cukup sadis. Akhirnya jadilah Casio ditebus dengan harga serupa toko online di Internet. Tentu saja ini Casio asli karena selain dibubuhi kartu garansi dan manual juga diberi wadah kaleng dan dus. Minimal jauh lebih niat ketimbang saat saya beli Casio HD di Mustafa Singapura. Disana selain arloji-arloji di pajang seadanya (sehingga lebih mirip pajangan grosir ketimbang toko) kita cuma dibekali nota dan wadah berupa dompet plastik model toko emas di pasar tradisional lengkap dengan tulisan bersepuh emas yang sudah jarang saya lihat di Jakarta. Hehehehe.....

Sunday, August 11, 2013

Mau berapa besar ?

Bicara soal kubikasi pada motor yang beredar di Indonesia seperti membicarakan fitur canggih pada smartphone. Semua pengguna maunya spesifikasi setinggi-tingginya tapi ujung-ujungnya akan terbentur dengan realita yang ada. Pada smartphone banyak fitur canggih tidak atau belum bisa dimanfaatkan akibat kualitas jaringan yang belum memadai. Lha punya smartphone berkoneksi LTE tapi sekadar sinyal 3G pun masih kembang kempis. Jangankan bervideo phone ria mau update status di FB saja sering gagal. Hal yang sama berlaku di motor semua maunya punya kubikasi yang besar karena identik dengan tenaga ganas, tapi apa daya jalannya macet bukan kepalang.


Yang penting besar Bro?




Saat ini konsumen motor di Indonesia baru puas kalau motor baru yang dia beli memiliki kubikasi mulai dari 125cc. Menggeser trend kubikasi 110cc-115cc yang masih jadi standar di beberapa motor entry level. Beberapa malah baru lega jika kubikasi mulai dari 150cc dan tertawa lepas ketika kubikasi mentok di 250cc.  Di atas 250cc biasanya konsumen mulai mikir soal pajak dan konsumsi bbm meskipun tetap mengidamkan kubikasi 400cc atau bahkan 1000cc. 

Saya sendiri termasuk konsumen yang mulai belajar naik motor lewat kubikasi 110cc. Cuma karena ini motor 2 Tak katanya powernya sebenarnya setara dengan 220cc di motor 4 Tak. Makanya dulu tidak heran lumayan repot belajarnya. Sedangkan di era 4 Tak saya mulai dari 110cc ke 125cc dan baru sekarang masuk di kelas 150cc. Rasanya maksimal kubikasi yang saya bisa handle akan mentok di 250cc saja. Lewat dari sana rasanya bakal emoh. Kecuali entah bagaimana ada mukjijat yang bisa mengubah lalu lintas Jakarta jadi senyaman era 80-an dan jalan tol boleh dilalui kendaraan roda dua. Bukan apa-apa ketimbang meringis menahan berat dan panasnya motor kubikasi besar di tengah kemacetan, mendingan pakai motor yang kubikasinya pas untuk kemacetan. Tidak kebesaran tapi pas sedang-sedang saja.

Friday, August 9, 2013

Antara Skutik dan Pengendara Wanita

Hari ini ada sebuah tragedi yang menarik perhatian saya yaitu berita kecelakaan pengendara matik di situs detik. Dalam berita yang cukup singkat ini (sepertinya memang taktik detik untuk menarik pengunjung beritanya di buat pendek dan singkat agar menarik pembaca), disebutkan seorang wanita pengendara skutik Yamaha Mio kecelakaan di Jalan Sudirman di depan hotel Le Meredien. Kecelakaan terjadi disinyalir karena pengendara lepas kendali sehingga menabrak trotoar dan akhirnya tewas. Tidak disebutkan secara detail apa penyebab pengendara lepas kendali. Juga tidak disebutkan sebab-sebab lain timbulnya kecelakaan tersebut. Anehnya pada kolom komentar banyak pembaca langsung menyimpulkan kecelakaan terjadi karena pengendaranya wanita. Sebagian lagi ada yang berpendapat karena jenis kendaraannya.  Meski kolom komentar berita di situs detik cukup terkenal dengan komentar-komentarnya 'yang terlalu bebas' menarik untuk disimak bahwa jenis kelamin dianggap sebagai penyebab kecelakaan. Juga sama menariknya ketika penyebab kecelakaan di daulat akibat jenis kendaraannya yaitu skutik.

Jalan Depan Le Meredien

Pada hari ini sebenarnya saya sempat melewati jalan yang sama sekitar pukul 12 siang. Keadaan cukup sepi dan lengang karena merupakan hari ke-2 Idul Fitri. Seperti yang saya sudah sampaikan di beberapa artikel yang ada di portal indomotoblog bahwa justru dalam keadaan sepi seperti sekarang pengendara harus lebih berhati-hati. Sebab selain kita terdorong untuk memacu motor secepat-cepatnya karena kondisi jalan yang lengang, juga karena disekitar kita banyak pengendara yang kurang trampil. Fakta sederhana yang terjadi setiap kali libur panjang. Saya tidak setuju dan tidak yakin jenis kelamin berkaitan dengan kemampuan berkendara karena justru sering menemukan lady biker yang sama trampilnya dengan pengendara pria. Begitu juga sebaliknya banyak lady biker yang sama sembrononya seperti pengendara alay. Jenis kendaraan yang disebut skutik dalam berita juga seharusnya tidak menjadi penyebab kecelakaan (mengandaikan skutik tersebut laik jalan). Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab kecelakaan dan itu merupakan tugas kepolisian lalu lintas untuk mencari penyebabnya. Kita yang hanya membaca tentu hanya bisa menebak-nebak apa sebenarnya yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut. 

Thursday, August 8, 2013

Box, Magic Jar, Top Case, Bagasi......

Awalnya saya termasuk orang yang anti pasang bagasi tambahan di belakang motor. Maklum dari sekian banyak motor CKD yang masuk kemari, apakah dia sports, skutik, bebek, tidak ada yang benar-benar dirancang untuk mendapatkan aksesori bagasi belakang. Hal ini bertahan sampai saya memiliki PCX.  Selain karena membutuhkan ruang tambahan, PCX merupakan produk global CBU yang telah dilengkapi lubang baut untuk bracket di tail grab (behel) nya. Meskipun untuk memasang bracket harus melubangi plastik tutup tail grab (behel). Bracket khusus PCX seharga 450-500 ribu ini terasa kokoh menopang box bagasi, dan didukung oleh  beberapa produsen asesoris bagasi seperti Givi, Kappa dan Shad. Saya sengaja memilih box bagasi yang ukurannya tidak terlalu besar karena saya tidak suka ukuran bagasi yang terlalu lebay. Selain tidak estetis tentu akan mempengaruhi handling motor.
Box Bagasi GIVI E16 Monolock di PCX


Sayangnya ketersedian lubang baut bracket, tidak terjadi pada motor-motor CKD yang umumnya hanya dijual untuk pasar Indonesia atau ASEAN. Selain tidak memiliki lubang baut khusus , bracketnya pun umumnya adalah bracket universal yang tidak presisi dan berharga murah. Salah satu kekurangan bracket universal lokal biasanya adalah daya tahan yang rendah terhadap guncangan sehingga rentan patah dan instalasinya mengharuskan tail grab (behel) yang ada dilepas. Parahnya banyak rider di sini yang memaksa memilih memasang box dengan ukuran oversize yang selain jelek secara estetika juga menganggu handling motor karena ukurannya yang terlalu lebay.

Instalasi Box pada motor CKD lokal




Sunday, August 4, 2013

Seandainya Suzuki dan Yamaha berani...keluarkan skutik Mid Size.

Melihat data bahwa penjualan motor di Indonesia sudah di dominasi Honda (AHM) sebanyak 60% sebenarnya menunjukan kedigdayaan pabrikan Jepang berlogo sayap ini. Hebatnya Honda tidak lagi bermain di segmen yang menjadi julukannya di masa lalu, yaitu sebagai raja bebek, tapi malah menjadi raja skutik. Yamaha yang tadinya memimpin lewat Mio-nya yang cukup merakyat akhirnya dipecundangi Honda lewat terjangan Beat-nya.

Honda PCX 125-150



Sayangnya meski angka penjualan skutik terbilang tinggi, pasar skutik di Indonesia masih dipenuhi oleh model-model skutik dengan bodi kompak (light size). Konon menurut riset pasar yang dilakukan pabrikan, orang sini tidak suka model skutik mid dan maxi size...(gak suka atau gak kuat beli ya karena bandrolnya kelewat tinggi?) Sehingga praktis hanya segelintir pabrikan yang berani memasukan skutik mid dan maxi globalnya.


Yamaha Majesty S / S-Max 155


Seandainya pabrikan agak mau berusaha inovatif tentunya konsumen tanah air sudah di suguhi persaingan skutik level mid-size. Disini Honda tampaknya menjadi satu-satunya pabrikan yang berani main di kelas skutik mid-size. Mungkin Honda berharap PCX-nya bakal fenomenal seperti Kawasaki Ninja di sports fairing. Makanya berani mulai duluan, sayang meski inden panjang, demand-nya dianggap belum memenuhi target Honda. Makanya AHM terlihat masih setengah hati memasarkan PCX.


Suzuki Skywave / Burgman 200 SS


Mungkin karena itu PCX Honda tidak di ikuti oleh dua pabrikan Jepang lain Yamaha dan Suzuki. Malah pabrikan non-Jepang seperti SYM, Benelli dan Viar berani masuk sedikit-sedikit.  Padahal kalau saja berani Yamaha tentu bisa merilis S-Max-nya disini dan Suzuki tinggal membopong Skywave 150/200 kemari. Pasar skutik mid-size mulai semarak dan kita gak bosen cuma disuguhi skutik lightsize selap-selip di jalanan.

SYM Joyride 200i