Thursday, December 27, 2007

Tetangga!!!

Mengapa saya membuat judul blog hari ini dengan judul tetangga !!!, plus tanda seru sampai tiga kali? Karena selama hidup jarang sekali saya punya tetangga yang pengertian. Malah setahu saya mungkin belum pernah. Ketika saya kecil dan besar di sebuah perkampungan agak kumuh di utara Jakarta, tetangga kanan saya seorang pengontrak, pernah di damprat Bapak saya karena menyetel tape lagu dangdut keras-keras. Sebenarnya kita tidak ambil pusing dengan hobinya menyetel lagu dangdut, tapi karena di setel pas kebetulan sedang ada orang bertamu ke rumah karuan saja pembicaraan harus dilakukan dengan setengah teriak untuk mengatasi suara lagu dangdut yang membahana. Akhirnya ketika tamu pulang dengan kesal Bapak saya pergi ke sebelah dan memarahi sang pengontrak yang sontak sejak saat itu tidak lagi menyetel tape keras-keras.

Ketika kami terpaksa pindah (karena banjir yang makin parah) dari perkampungan ke sebuah perumahan, tadinya kami berharap kehidupan bertetangga bakal lebih baik. Maklum mereka yang mampu membeli di perumahan biasanya sudah lumayan terdidik. Awalnya sih demikian untuk beberapa saat, sampai tetangga depan rumah mulai cari masalah dengan parkir mobil sembarangan. Memang setiap rumah sudah dilengkapi carport sendiri-sendiri tetapi tetangga depan rumah, termasuk jenis yang malas parkir dengan rapi di carport. Tadinya kita duga karena mobilitasnya yang tinggi, ternyata tidak mobilnya yang besar dan menutup separuh jalan bisa parkir di depan rumah selama berjam-jam dan baru parkir dengan manis di carport setelah jam 9 malam. Waduh terpaksa setiap mau keluar masuk panggil-panggil tetangga dulu, mending kalau langsung keluar, rumah tetangga yang biasanya ramai giliran diminta pindah mobil mendadak sunyi senyap seolah tanpa penghuni. Suatu hari karena sebalnya setelah didera macet dari kantor, Bapak saya nekat parkir di sebelah mobil tetangga persis. Walhasil jalan di depan rumah jadi riuh karena klakson mobil lain yang mau lewat. Sambil mengamati dari dalam dan setelah 15 menit baru tetangga depan tergopoh-gopoh keluar untuk memindahkan mobil.

Sekarang saya sudah hidup berumah tangga tetapi persoalan tetangga yang jauh dari Tepa Selira di Jabotabek masih saja terjadi, malah kelihatannya makin parah. Kebetulan setahun pertama saya nebeng di rumah mertua di sebuah perumahan yang cukup elit. Seperti biasa awalnya lingkungannya cukup enak, dijaga 24 jam, dekat fasilitas umum, tetangga yang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, tapi seiring waktu problem tetangga kembali mendera. Kebetulan rumah mertua letaknya di ujung blok (hampir tusuk sate) sehingga persis di depan rumah terletak jalan penghubung dengan blok lain. Jalan yang harusnya strategis ini ternyata jarang sekali bisa dinikmati karena seluruh tetangga yang tinggal di dekat situ dan memiliki mobil lebih dari satu, selalu menjadikan bahu jalan sebagai car park publik yang nyaman. Satu tetangga bahkan meninggalkan mobilnya demikian lama disitu sehingga merupakan suatu keajaiban apabila kita pernah melihat mobil itu jalan. Jangan bayangkan mobilnya adalah mobil kuno rombengan macam besi tua, mobilnya adalah mobil tahun 2000-an dan masih laik jalan pula. Dengan kondisi satu rumah yang kadang-kadang minimal punya dua mobil, maka bukan kejadian aneh kalau untuk masuk atau keluar dari rumah Mertua kadang sedikit susah. Suatu saat ketika saya bisa pulang agak siang dari kantor, sambil berharap senang karena bisa punya waktu nonton film di bioskop bersama istri . Alangkah terkejutnya saya ketika mau memasuki halaman rumah di luar pintu pagar sudah parkir dengan manisnya sebuah SUV besar lengkap dengan supirnya menghalangi jalan keluar-masuk rumah. Rupanya itu pekerjaan supir antar-jemput murid-murid tetangga yang buka les-lesan di rumah.

Setelah nebeng untuk sementara saya menempati rumah milik keluarga di bilangan Senen. Letaknya yang di gang sebuah perkampungan cukup membawa saya ke nostalgia waktu kecil. Mulai tetangga yang suka teriak-teriak (baik dalam keadaan marah, senang, maupun normal), motor sampai ke odong-odong dan topeng monyet yang bisa berhenti persis di depan pintu pagar rumah. Hingga ke pesta hajatan ala kampung lengkap dengan organ tunggal dan nyawernya. Untuk pertama kalinya saya bisa melihat (benar-benar melihat) rambatan suara di udara yang diakibatkan oleh hentakan speaker sewaan tetangga yang ditaruh pas di luar pagar rumah.

Dengan sejarah bertetangga yang lumayan buruk seperti ini, tak heran kalau saya dan istri benar-benar memilih lokasi, lingkungan rumah baru kami ini. Tak tanggung-tanggung kami pindah ke ujung Selatan di Depok sana. Setelah membangun selama hapir setahun, hutang sana-sini dan menguras kocek serta tabungan berdua, rencananya dalam waktu dekat kami mau pindah. Sambil melakukan finishing membereskan kesalahan dan kerusakan yang diakibatkan tukang yang asal-asalan, hari ini saya memasang pompa air. Ditemani rekan kantor yang tenaga dan pengetahuannya kebetulan bisa dimanfaatkan mulailah kami memasang pompa dan pipa tiba-tiba kami dikejutkan oleh dentuman di bagian atas rumah. Kebetulan di atas kamar dan sebagian belakang rumah sengaja sudah kami cor, selain untuk persiapan meningkat juga mencegah bocor. Tiba-tiba dengan santainya muncul dua orang tukang suruhan tetangga sebelah rumah yang menyeret tangga kayu diatas rumah, tanpa ba-bi-bu langsung melakukan pekerjaan menambal atap tetangga melalui tangga yang di dirikan di atas atap rumahku. Akhirnya dengan marah terpaksa deh saya keluarkan kata-kata kasar yang jarang saya keluarkan, itu pun cuma setengah mempan. Terpaksa mulai besok saya berencana menggelar kawat berduri mengelilingi atap rumah. Biar saja rumah saya jadi terlihat seperti Fort Knox, yang penting tidak ada lagi tetangga kurang ajar yang injak-injak atap tanpa permisi. Kapan ya punya tetangga yang bisa punya perasaan?