Monday, November 27, 2006

Nintendo Wii

Selain menonton film, hobi saya di waktu senggang adalah main video game (maaf olahraga tidak masuk ke dalam hobi karena saya kategorikan kebutuhan hidup). Walau hobi ini tidak bisa lagi secara tetap saya lakukan sejak menikah, meski saya masih sering mengikuti berita perkembangan video game. Sebagai generasi yang besar ketika video game mulai menjadi bagian dari kegiatan anak-anak, video game menjadi salah satu daya tarik hidup, malah salah satu alasan saya berkecimpung di dunia desain grafis adalah karena video game. Masih jelas terbayang ketika saya pertama kali melihat Atari beraksi, baik dalam bentuk iklan di mingguan anak-anak, maupun ketika harus antri memainkannya di acara anak-anak. Mesin coin-op video game di arcade center yang lebih populer disebut ding dong sukses mengeruk uang jajan saya ketika kecil. Tentu ketika uang habis yang lebih banyak saya lakukan adalah menonton orang lain bermain dan terpesona oleh keindahan tampilan grafis video game kala itu. Maka ketika sudah memiliki penghasilan sendiri selain pernah terus-terusan mengupgrade komputer untuk bermain game (dan juga untuk desain) saya sempat memiliki Play Station dan Play Station 2.

Meski terpukau oleh tampilan grafis yang kian hari kian nyata, yang benar-benar memaku saya untuk betah berlama-lama bermain video game adalah apa yang disebut dengan Game Play. Saya bukanlah jenis gamer hard core yang sanggup memainkan game tipe RPG atau FPS yang membutuhkan waktu berjam-jam atau malah hari. Memang game-game jenis itu mampu menayangkan tampilan grafis berdetail tinggi tapi aturan, taktik dan perintah yang harus dihapalkannya cukup membuat pusing kepala saya. Bagi saya game pertama-tama harus menghibur, sehingga kita bisa menempatkannya dalam tatanan hiburan. Kedua game juga harus cukup santai, sehingga tidak perlu dimainkan dengan keteganggan tinggi (simpan saja untuk di jalan raya). Ketiga game harus sederhana, sehingga saya tidak sanggup jika harus mengingat berbagai aturan dan pengendalian untuk memainkannya.

Sayang banyak game dewasa ini mulai melupakan aspek tersebut, tak heran karena pendekatan kualitas grafis menjadi titik utama para pembuat hardware. Saya baru saja membaca artikel bahwa game di komputer ada yang mensyaratkan VGA card bikinan produsen tertentu untuk dapat dimainkan dengan maksimal? Menurut saya video game menjadi terlalu nyata, serius, menegangkan, dan sadis sehingga yang bisa memainkannya dengan baik hanya remaja dengan waktu luang banyak dan ketekunan yang tinggi.

Khusus kesadisan amat disayangkan banyak orang tua yang kurang sadar (mungkin karena terlalu sibuk atau kurang informasi) bahwa tidak semua video game sesuai untuk anak-anak. Kasus tewasnya seorang anak di Bandung akibat meniru tayangan Smack Down , terasa ironis karena yang dituding hanya akibat dari tayangan acara gulat tersebut di salah satu TV swasta. Padahal dalam adegan pemberitaan tersebut anak-anak di rumah tersebut bebas memainkan video game dengan judul dan adegan Smack Down.

Video game juga menjadi terlalu mahal dengan berusaha menjadi media hub (fungsi yang seharusnya dimiliki oleh digital media player). Jika saya yang senang game dan berpenghasilan sendiri masih berpikir panjang untuk membeli Play Station 3 seharga US$ 600 (di Indonesia untuk sementara di jual seharga dua kali lipatnya) bagaimana dengan anak-anak dan remaja. Tak terbayang repotnya orang tua yang anak-anaknya minta hadiah kenaikan kelas semacam itu?

Ditengah-tengah hingar bingar industri dan dunia video game yang sibuk dengan alih fungsi serta keseriusan tema. Saya dikejutkan oleh berita dari Nintendo yang merilis konsol baru. Selama ini Nintendo memang dikenal sebagai produsen video game yang cukup disegani, walau pamornya sedikit meredup terutama di bidang konsol. Sebenarnya gamer Indonesia cukup mengenal Nintendo baik jaman dulu lewat Game & Watch-nya maupun konsol-nya, sayang sejak kegagalan di Nintendo 64 dan Game Cube dalam merebut dominasi pasar, Nintendo lebih banyak dikenal sebagai pemain hand held ketimbang konsol. Maka ketika Nintendo berencana merilis konsol selain dominasi di kelas hanheld lewat GBA, DS dan DS lite-nya dunia video game bagai tersentak. Apalagi yang dirilis adalah konsol yang tidak begitu diunggulkan dalam kualitas grafis dan hardware.

Ternyata Nintendo menggunakan taktik lain dalam menjual konsolnya yaitu: Game Play. Konsep Game Play mungkin sedikit sulit dicerna oleh non-gamer tetapi oleh gamer veteran sangat dihargai. Misalnya kita ambil game Tetris sebagai contoh, game asal Rusia ini sebenarnya tidak istimewa dalam tampilan grafis, karena isinya cuma mencocokkan balok-balok yang jatuh secara acak dari atas. Pemain memiliki kontrol untuk memutar dan mengendalikan arah jatuhnya balok ke bidang yang masih kosong atau belum lengkap. Ketika satu baris dipenuhi balok yang tidak terputus maka baris itu hilang dan menjadi nilai, terus begitu hingga naik ke level berikutnya atau pemain tak mampu mengendalikan balok-balok yang jatuh. Game sederhana ini sepanjang 90-an sukses dimainkan di berbagai platform mulai komputer hingga handheld dan memicu puluhan atau bahkan ratusan klon dengan berbagai variasinya. Kesuksesan Tetris ada di Game Play yaitu karena mudah dimainkan dan orang terhanyut di dalamnya, tak soal apakah orang itu anak-anak atau orang dewasa.

Nintendo menawarkan game play lewat pengendalian dan interaktifitas video game, dua aspek yang sebenarnya banyak menuai sukses tetapi sering dilewatkan karena titik berat di bidang grafis dan budaya sequel. Saya sendiri yang mulanya skeptis akan konsep Nintendo bahkan ketika melihat foto-foto demo di E3, sekarang malah menjadi yakin akan konsep ini, karena game-game yang menjadi favorit saya adalah game-game yang mengkedepankan hal tersebut. Ada dua jenis game yang saya suka, yaitu balap dan Rail Shooting. Game balap saya sukai karena faktor ngebut di jalan, sesuatu yang jika dilakukan di kehidupan nyata membawa konsekuensi yang serius, tentunya game play di balap baru bisa saya capai setelah saya membalap di video game dengan menggunakan steering wheel. Sedangkan game rail shooting (yang menyebabkan saya membeli Playstation dan PS2) saya mainkan dengan pengendali yang mirip pistol mainan. Dari segi grafis balap memang cukup real (meski simulasi fisiknya saya non aktifkan) tapi rail shooting kualitas grafisnya boleh dibilang agak-agak komikal. Tetapi keduanya mudah dimainkan-yang satu tinggal: gas-rem-putar kemudi, sedang yang satunya lagi tinggal: tembak-isi-sembunyi.Di game lain sehebat-hebatnya game pad dengan getarnya dan sedetail-detail tampilan grafisnya buat saya tak mampu menggantikan kemudahan kendali dan interaktifitas seperti game balap dan rail shooting tadi.

Nintendo dengan konsol yang diberi nama wii hadir tidak dengan alat kendali berbentuk mirip senapan atau steering wheel tetapi menghadirkan game pad / joystick dengan bentuk akrab bagi orang umum yaitu remote, yang dimainkan dengan menggerakkannya secara fisik. Misalnya dalam Nintendo Sports yang berisi game olah raga seperti: golf, bowling, tenis, dan baseball pemain mengendalikan karakter di layar dengan membuat gerakan yang sama yang dilakukan jika melakukan olah raga tersebut di dunia nyata. Misalnya mengayunkan remote laksana stick golf, atau melakukan back hand seperti di tenis. Untuk gamer yang bukan hard core type atau non-gamer pengendalian dan interaktifitas seperti ini tentu membawa angin segar dan menyenangkan. Game menjadi sesuatu yang menyenangkan, menghibur, santai, dan sederhana seperti seharusnya.

Sebenarnya apa yang dibuat oleh Nintendo bukanlah sesuatu yang baru dan secara sendiri-sendiri atau bersama sudah pernah di coba. Totalitas Nintendo lewat wii-nya patut di acungi jempol apalagi jika konsistensi ini terus dipertahankan lewat judul-judul game yang lain. Tinggalah sekarang kita melakukan pengamatan dan pengukuran apakah langkah yang dilakukan Nintendo ini menuai sukses atau tidak. Pada peluncuran tanggal 19 November lalu di AS sepertinya sambutan masyarakat cukup besar, di bagian dunia lain secara berturut-turut wii juga akan diluncurkan dengan harga di kisaran US$ 250 yang jauh lebih murah dari pesaing lainnya. Saya juga menunggu harga Wii menjadi stabil dulu di Indonesia dan berharap harga game aslinya tidak terlalu mahal, saat ini Wii ditawarkan dengan harga dua kali lipatnya di Jakarta seperti juga PS3.

No comments: